Tetralogi Buru

Tetralogi Buru
Tetralogi Buru

Pergumulan saya dengan karya Pram, bermula saat SMA. Saat itu, di toko buku Gramedi* yang kebetulan berdekatan dengan SMA, saya menemukan sebuah buku yang cukup tipis berjudul Jalan Raya Pos dan tertulis Pramudya Ananta Toer sebagai pengarangnya.

Klop karena kebetulan saya memang berminat dengan buku-buku yang berbau sejarah, pada hari itu juga saya lalap habis buku tersebut dengan membacanya sekali duduk. Saya kagum dengan caranya menceritakan runutan peristiwa di seputar pembangunan jalan raya yang banyak memakan korban tersebut. Bahkan di sela cerita, terselip kisah lucu yang tidak mungkin saya lupakan terkait tahta pembuangan.

Berselang kuliah serta bekerja di Kota Medan, saya akhirnya penasaran juga dengan karya monumentalnya berupa roman sejarah yang dikenal dengan Tetralogi Buru. Kebetulan juga keempat buku tersebut saya dapatkan dengan harga miring di sebuah bazar buku seharga tidak lebih dari 160 ribu rupiah yang saya beli secara terpisah. Pembelian pertama edisi kedua dan keempat yang dilanjutkan edisi kesatu dan ketiga pada pembelian kedua.

Pada akhirnya membacanya pun agak ngaco karena dimulai dari edisi kedua, pertama, ketiga dan terakhir keempat. Namun pada akhirnya alur ceritanya akan terbaca begitu membaca dari pertama hingga terakhir.

Kesan saya pada roman ini sungguh luar biasa. Roman sejarah bercerita kondisi Hindia pada akhir abad 19 hingga awal abad 20. Minke sebagai tokoh sentral pada roman merupakan representasi dari seorang pelopor pers nasional pada masa itu, Tirta Adi Suryo. Karena sepak terjangnya di dunia pers saat itu dengan Medan Priyayi yang digawanginya, membuat gerah gubermen sehingga akhirnya gubermen mengambil tindakan terhadap dirinya dengan intrik-intrik politik para Gubernur Jenderalnya.

Rangkaian roman mulai dari Bumi Manusia hingga Rumah Kaca sekaligus merupakan tahapan pribumi dalam membangun kesadarannya untuk menjadi maju dalam melawan kolonial Belanda. Namun, disamping itu rangkaian kisah romantis pun tersaji pada bagian Bumi Manusia dimana di situ dijelaskan bagaimana rumitnya kisah cinta Minke dan Annelies. Saya pribadi sampai terbuai sewaktu membaca bagian pertama ini haha.

Satu poin penting dari tetralogi ini menurut saya, tentunya bersifat subjektif, bahwa saya tercerdaskan dalam hal pelurusan sejarah di republik ini. Contohnya, sejauh yang kita tahu, organisasi pribumi pertama yang didirikan adalah Budi Utomo. Namun, ternyata sebelum Budi Utomo – pada roman ditulis Boedi Muljo – Jamiatul Khoir sudah berdiri. Bahkan, jika ditelusuri lagi pada tahun 1900an sebelum Jamiatul Khair berdiri, organisasi Tiong Hoa Hwee Koan sudah menjalankan kontribusinya di bidang pendidikan, tulis menulis dan juga pelestarian adat istiadat nenek moyang mereka.

Banyak istilah yang akhirnya baru saya ketahui dari roman ini. Misalnya asal muasal penyebutan nyai, eropa totok, eropa peranakan dan sederet istilah-istilah yang identik ketika kolonial berkuasa di republik ini. Belakangan saya baru saya ketahui juga bahwasanya pementasan teater yang mengambil nama Nyai Ontosoroh berasal dari lakon Sanikem pada cerita. Mungkin saja sosok Happy Salma, yang saya tau sering memerankan lakon tersebut, sosoknya yang paling mendekati jika digambarkan pada dunia nyata haha.

Oh ya, dari buku pertama hingga ketiga, sudut pandang penulis menggunakan orang pertama yang dilakoni oleh Minke. Hal yang berbeda akan ditemui pada buku terakhir, Rumah Kaca, dimana Pangemanann lah yang menjadi orang pertama walaupun Minke masih mendapat tempat tersendiri mengingat Minke adalah ‘guru’ bagi Pangemanann.

Ada beberpa tokoh yang namanya nampaknya disamarkan (atau memang benar nama aslinya) yang sebelumnya memang belum pernah saya dengar seperti Siti Soendari, Goenawan atau Mas Marco. Tokoh yang mafhum kita kenal juga akan muncul pada rangkaian roman ini seperti Sutomo, Kartini, Tjokroaminoto, Semaun, Sneevliet dan sederet tokoh lainnya.

Tak cukup menceritakan isi roman dalam sebuah blog. Memang membaca jauh lebih menarik untuk menyelami setiap kisah yang disajikan si penulis. Jika ada kawan di Medan yang berminat untuk membaca roman ini, monggo silakan kontak saya. Sayang jika buku dionggokan saja setelah dibaca.

2 thoughts on “Tetralogi Buru”

  1. Saya juga sudah baca tetralogi ini, one of my favorite books 😀
    buku ini luar biasa banget…

    btw saya juga mau dihibahkan buku ini, tapi sayangnya bukan orang Medan..haha
    saya baru punya dua buku soalnya, dulu baca lengkap minjem di temen -,-

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: