Pulau Banyak – Semenjak melakukan kuliah kerja lapang pada 2009 silam, pesona keindahan pada sisi bagian Barat Pulau Sumatera menyimpan pesona tersendiri pada benak saya. Hamparan pasir putihnya yang menggoda, pesona matahari terbit dan tenggelamnya yang sensasional, leluasanya pandangan ke cakrawala, langit birunya, keindahan bawah airnya serta tak lupa kemolekan makhluk penghuni bawah lautnya menjadi salah salah satu daya tarik yang merongrong pikiran untuk dikunjungi sesegera mungkin.
Kesempatan itu datang pada pekan lalu, seiring dengan padatnya pekerjaan di kantor serta kebetulan juga ada hari libur yang terjepit dan berimpitan dengan akhir pekan. Saya mengikhlaskan cuti satu hari di hari kejepit tersebut untuk kembali keluar menuju zona tanpa beban.
Keberangkatan dari Medan dimulai pada malam hari dengan tujuan ibukota Kabupaten Aceh Singkil, yakni Singkil. Perjalanan malam itu ditempuh selama delapan jam lewat jalur darat dengan melalui rute Medan – Berastagi – Kabanjahe – Merek – Sidikalang – Subulussalam – Singkil. Kondisi jalan yang dilewati dari rute tersebut relatif baik, hanya beberapa tempat yang agak kurang baik dilewati namun tidak terlalu parah terutama pada jalur setelah lewat Sidikalang.
Sekira jam tujuh pagi, mobil yang saya naiki sampai di Pelabuhan Penyeberangan Singkil yang dikelola ASDP. Selidik punya selidik, keberangkatan menuju Pulau Balai ternyata baru akan ada jam dua siang. Hari sebelumnya saya memang sempat berselancar di dunia maya mengenai jadwal keberangkatan. Salah satu yang agak mengerikan adalah jadwal keberangkatan kapal ferry tidak mengikat alias bergantung kondisi lapangan seperti cuaca dan gelombang.
Sambil menunggu jam keberangkatan, sepiring lontong sayur menjadi hidangan sarapan untuk mengisi perut yang sempat keroncongan semalaman. Kami sempat mencari informasi ke nelayan setempat di Jembatan Tinggi untuk memastikan apakah ada kapal nelayan yang akan menyeberang ke Pulau Balai. Hasilnya nihil. Akhirnya sambil mobil menuju kembali ke pelabuhan dan kami menghabiskan waktu untuk berfoto-foto ria.

Secara kebetulan, ada belasan anak muda yang ternyata akan menyeberang ke Pulau Balai dan tanpa pikir panjang kelompok kami pun memutuskan bergabung untuk menyewa kapal nelayan menuju Pulau Balai. Sekonyong-konyong terlihat dua wanita berkulit putih yang ternyata ikut dalam rombongan kapal yang kami tumpangi. Belakangan saya ketahui bahwa keduanya berasal dari Perancis.
Perbekalan pun kami siapkan dengan membeli air mineral dari kedai setempat berikut dengan snacknya. Mesin kapal pun dihidupkan, suara berisik tak ayal langsung memenuhi kedua gendang telinga saya yang akan saya nikmati berjam-jam ke depan. Menurut seorang kawan yang pernah ke Pulau Balai, waktu tempuh yang dibutuhkan untuk menyeberang hanya dua sampai tiga jam saja bila menggunakan kapal motor nelayan. Lain hal bila menggunakan ferry yang akan menghabiskan waktu hingga empat jam.

Pelabuhan Jembatan Tinggi – tempat kami menaiki kapal – berada di bagian bibir sungai bagian dalam. Sehingga ketika kapal berjalan, kami disajikan pemandangan khas berupa vegetasi di muara sungai. Adapun vegetasi yang tampak dominan berada di sini yaitu pepohonan nipah yang tumbuh secara subur dan menghampar di kanan dan kiri sungai. Setelah kapal melalui bibir sungai yang airnya berair kecokelatan pekat, pandangan disajikan cakrawala yang lebar. Ya, saat ini kami sedang membiarkan kapal diayun oleh gelombang tenang sang Samudera Hindia.
Tidak sampai 30 menit kapal yang kami tumpangi berjalan menuju Pulau Balai, ada kejutan yang tidak disangka-sangka. Para penumpang berteriak dan menunjuk ke sebuah arah di lautan. Sekilas saya ikuti arahnya dan terlihat air berkecipuk diiringi sebuah sirip yang mudah dikenali dengan warnanya yang biru kegelapan. Seekor lumba-lumba tampak bersemangat mencari perhatian kami. Sesaat saya menunggu kejutan berikutnya, mengingat lumba-lumba bukanlah hewan soliter. Menanti-nanti apakah kemudian ada kecipuk-kecipuk air yang akan mengejutkan kami. Sayang sekali ternyata tidak. Si lumba-lumba sudah tidak ketahuan batang siripnya. Kembali saya bersandar dan menikmati angin laut yang bersemilir, membawa pikiran melayang-layang membayangkan kejutan apa lagi yang akan kami nikmati pada perjalanan ini.
Bersambung…