Trip to Land of Gods

Turis mancanegara mungkin lebih mengenal Bali daripada Indonesia. Ya, itu beberapa opini yang saya baca di media elektronik. Bahkan ironisnya, diantara mereka ada yang berkata “Indonesia? Di mananya Bali ya itu?” *Gubrak!

Sebagai bagian dari program kerja cinta tanah air bagi diri saya, saya sengaja menyempatkan untuk singgah ke Pulau Bali di sela kesibukan dinas. Sengaja, karena memang tidak direncanakan jauh-jauh hari dan waktu kunjungan yang sangat singkat sekali. Bahkan, ada beberapa tempat menarik yang akhirnya kami korbankan untuk tidak disinggahi karena tidak mencukupinya waktu selama saya dan kawan-kawan di sana.

Bermodalkan mobil carteran, akhirnya kami tiba di Denpasar sekitar pukul dua dini hari setelah menempuh perjalanan darat selama enam jam dari Kabupaten Banyuwangi. Waktu sekitar dua jam dimanfaatkan untuk tidur di tempat penginapan sederhana tak jauh dari Bandara Ngurah Rai. Dari lantai tiga bahkan terlihat jelas atap bandara Ngurah Rai yang memiliki model ombak-ombak yang mencerminkan objek wisata pantai yang banyak ditemui di Pulau Dewata. Tujuan pertama yaitu Pantai Sanur untuk menikmati fajar menyingsing di ufuk Timur. Sesampainya di lokasi, di luar ekspektasi, saya tidak begitu tertarik menikmati pemandangan yang ada. Kondisi pantai yang cukup kotor dan garis pantai yang biasa saja tak pelak membuat saya lekas ingin meninggalkan Pantai Sanur. Satu peristiwa yang cukup menarik perhatian saya yaitu ada beberapa orang lokal yang berdoa di pesisir pantai. Tanpa sungkan mereka menaruh sesajen dan duduk bersila sambil berdoa kepada Sang Hyang Widhi.

Image

Image

Snorkeling Time

Setelah Pantai Sanur tujuan berikutnya yaitu Tanjung Benoa. Menurut informasi, disinilah bisa kita jumpai berbagai permainan di pantai seperti snorkeling, diving, dive walking, banana boat, dan lain-lainnya. Di sini terdapat berbagai operator alias penyelenggara tur yang bisa kita pilih untuk menikmati permainan air tersebut. Pada awalnya saya dan kawan-kawan seperjalanan memutuskan untuk tur ke penangkaran Kura-kura. Namun, karena saya sendiri sudah berkunjung di Pulau Seribu akhirnya saya pengaruhi saja yang lainnya untuk ber snorkeling atau bahkan diving. Melalui negosiasi panjang di antara kami dan operator terkait dengan harga paket yang ditawarkan, akhirnya disepakati kami akan snorkeling di perairan sekitar Tanjung Benoa. Paket diving sebenarnya cukup menggoda karena harga yang ditawarkan lebih murah dari paket sama yang ada di Pulau Sabang. Entah kenapa saya ragu dan akhirnya memutuskan untuk bersnorkeling saja sambil memberi makan ikan-ikan.

Dengan menggunakan kapal motor, kami dibawa menjauh dari garis pantai dan ternyata spot snorkeling merupakan pantai dengan kedalaman delapan meter lebih. Agak sedikit kecewa karena dengan kedalaman tersebut kita akan kesulitan melihat objek di benthos karena dipastikan penglihatan kita terbatasi. Dan benar saja, saat bersnorkel ria objek yang terlihat agak kabur karena selain lokasinya lebih dalam ternyata air laut yang ada pun tidak terlalu bening. Jauh lebih bening yang ada di Pulau Sabang atau Pulau Seribu. Namun, saya percaya tiap tempat adalah unik, pasti memiliki kekhasannya masing-masing. Benar saja, saya turun ke air ikan pertama yang saya lihat adalah si ikan badut Nemo. Ikan tersebut terlihat gelisah dan bersembunyi diantara rerumputan dan anemone laut. Selebihnya yang saya lihat adalah gerombolan ikan dengan garis hitam yang hobi memakan roti tawar yang kami suguhkan di telapak tangan. Telapak tangan terasa sedikit geli ketika mereka ‘nrotol’ roti yang ada di telapak tangan. Dengan sedikit kibasan saja mereka akan berenang menjauh. Di sini akhirnya saya nekat untuk pertama kalinya berenang di tengah laut dengan melepas pelampung. Dengan begini tubuh akan sedikit lebih bebas karena bisa menyelam dengan ringan. Apabila memakai pelampung tentu kita tidak akan bisa menyelam dengan ringannya. Satu hal yang saya cermati pada terumbu karangnya yaitu banyak ornament tambahan seperti arca-arca batu yang bisa kita temui dan lihat beserta pagar untuk yang mengambil paket diving.

Image

Oleh-oleh

Selesai berpuas-puasan dengan snorkeling, dilanjutkan dengan berbelanja oleh-oleh di Krisna Bali. Pada akhirnya saya pribadi agak menyesal membeli beberapa oleh-oleh di sini karena lebih banyak pilihan yang ada di penjaja souvenir di Tanah Lot. Selain lebih banyak pilihannya juga bisa kita tawar. Semakin sore harganya semakin murah. Konsep berbelanja yang ditawarkan di Krisna Bali yaitu konsep berbelanja souvenir modern, harga tetap dan suasana yang lebih nyaman. Namun ya kembali ke selera masing-masing orang. Jika saya pribadi ditanya, tentunya saya lebih memilih berbelanja souvenir di Tanah Lot. Suasana toko souvenir di Tanah Lot mengingatkan saya dengan kondisi serupa di Samosir dan Tangkuban Perahu. Hamper persis penempatan toko-tokonya.

Kuta Rock City

Di Kuta, saya baru merasa di sinilah saya melihat Bali. Turis mancanegara dan lokal terlihat hilir mudik di sepanjang jalan baik berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor sewaan. Hotel, bar, toko-toko souvenir bermerk, dan penjaja dagangan bercampur baur menjadi satu. Inilah DTW, Daerah tujuan wisata yang dalam satu lokasi memiliki berbagai fasilitas, amenitas, dan aksesibilitas. Tiga factor yang menjadi minimal aspek dalam daerah wisata. Itulah yang saya pelajari di mata kuliah Geografi Pariwisata dan ‘tertinggal’ di otak saya 😛 .

Sampai sini ada penyesalan juga karena sudah dipastikan kami akan menghabiskan waktu sebentar saja untuk mengejar senja di Tanh Lot. Seharusnya porsi waktu di Kuta dilebih kan mengingat pantai yang lebih ciamik daripada di Sanur serta ombaknya yang aduhai. Banyak terlihat turis yang berselancar di antara ombak yang berkejaran. Saya sendiri dan beberapa kawan tidak ketinggalan bermain ombak sampai akhirnya penjaga pantai melarang dikarenakan kondisi ombak yang semakin kurang bersahabat.

Image

 

Tanah Lot, senja yang tak kunjung datang

Selesai puas bermain ombak di Kuta, kami langsung meluncur ke Tanah Lot. Langit digelayuti mendung dan tak lama memang sedikit demi sedikit rintik hujan turun membasahi Pulau Dewata. Senja yang ditunggu itu akhirnya tak kunjung tiba karena terhalang awan. Tapi, suasana dan pemandangan di sini cukup menghibur karena perpaduan angin pantai, ombak yang berdebur, dan pemandangan yang aduhai cukup memanjakan pikiran saya untuk rileks sejenak menjauhi hingar bingar kota dan pekerjaan.

Selain objek pemandangan pura di tebing pantai yang melegenda (banyak saya lihat di kartu pos) tersebut di bagian celah-celah tebing juga terdapat petilasan yang (katanya) dihuni ular sakti. Dengan menyumbang uang dua ribu kita bisa melihat dan memegang ular tersbut agar mendapat berkah. Saya penasaran untuk melihat dan akhirnya bisa menyentuh ular sakti tersebut, hanya saja saya tidak mengharap berkah dengan menyentuhnya. Saya hanya berharap agar ular tersebut tidak mematuk tangan saya ketika menyentuhnya.

Image

Epilog

Kunjungan ke Pulau Dewata membuat saya terkesan dengan keramahan masyarakat Bali. Saya terkesan dengan cara masyarakat Bali mempraktikan ajaran agamanya. Mereka tidak sungkan berdoa, menaruh sesajen, dan ritual-ritual keagamaan lainnya di depan umum (bahkan sebagian dipertontonkan) tanpa canggung. Mungkin inilah salah satu yang membuat turis banyak berkunjung karena praktik-praktik ritual yang jamak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

Trip Aceh #2

“Jika sedang jenuh dan jengah, keluarlah dari rutinitas sesekali.

Hiruplah udara kebebasan sebagai manusia merdeka.”

Tetiba saja kalimat di atas terlintas di pikiran saat hendak menuliskan catatan perjalanan ini. Malam semakin larut dan saya pun mengetik huruf demi huruf diiringi lantunan campursari Manthous dan Cah Poerdjo. Suara khas gamelan Jawa membuat pikiran saya sekejap melayang menembus batas menuju Pulau Jawa seakan terbang dan tetiba kembali jatuh ke bumi saat lagu Castol yang berputar di mp3 player. Akhirnya jadilah saya senyum-senyum sendiri karena lirik yang dibawakan Tani Maju berisi sesuatu yang lucu dan tidak jelas, hahaha. Walhasil jadi tersadar dan kembali menulis dengan seriusnya.

Saya terpikir juga untuk tidak menuliskan catatan perjalanan ini dalam bentuk kronologis. Jika mendengar kata kronologis, pasti pikiran saya terbayang ke zaman perkuliahan geologi dasar dimana metode ‘Chronologies’ menjadi salah satu cara untuk melihat kelogisan benar tidaknya suatu peristiwa kebumian di masa lalu relatif terhadap peristiwa lainnya berdasarkan bukti dan data tertinggal yang masih membekas. Namun, akhirnya daripada meributkan dengan metode penulisan saya berkesimpulan dan memutuskan untuk menuliskannya secara bebas tapi sopan.

Target kami selama sehari penuh di hari ke-2 di Pulau Weh yaitu pantai, pantai, dan pantai. Malam hari sebelumnya kami sudah membooking dua sepeda motor matic untuk kami gunakan sebagai sarana berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Satu unit sepeda motor bisa disewa dengan harga 80 ribu sehari penuh dari pagi hingga malam. Tidak perlu susah untuk mencari tempat penyewaan karena hampir di tiap penginapan tersedia sepeda motor yang bisa disewa oleh pengunjung. Saya pribadi menyarankan untuk menggunakan moda transportasi ini karena bisa lebih bebas untuk menjelajahi ujung-ujung pulau sesuka hati.

Pantai Gapang

Pantai Gapang
Pantai Gapang

Pantai Gapang menjadi tujuan pertama kami di Hari Jumat pagi. Sekitar pukul jam 9.30 tiba dan suasana pantai tersebut jempling. Deburan ombak menyapu pinggiran pantai. Suara deburan terdengar sangat jelas. Seketika saya berada di dunia lain. Hanya terlihat seorang anak penjaga warung di dekat pantai. Tidak terlihat wisatawan seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Saya merasa ada sesuatu ganjil telah terjadi. Sejenak kami memesan kopi dan snack sambil ditemani suara deburan ombak dan akhirnya bertanya kepada si penjual kopi mengapa Pantai Gapang -yang banyak muncul ketika saya browsing lokasi wisata di Google- kok malah sepi adem ayem tentrem kerto raharjo. Singkat cerita akhirnya terkuak sudah akhirnya mengapa Pantai Gapang sedang adem ayem tentrem kerto raharjo. Ternyata terdapat aturan tidak tertulis di Hari Jumat yang melarang segala aktivitas di pantai hingga selesai ditunaikannya solat Jumat. Akhirnya solatlah kami di masjid besar terdekat. Kemudian sesuatu yang ganjil terjadi setelah rukun salam kami tunaikan di rakaat terakhir. Ada seorang makmum yang kembali iqamah dan serentak jamaah di beberapa barisan depan kembali berdiri dan kembali solat! Kami sekonyong-konyong keluar dari masjid dan langsung meluncur menuju Pantai Iboih. Sampai saat ini, saya sebenarnya masih bingung dengan kejadian solat Jumat tersebut dan terdapat sedikit penyesalan karena tidak bertanya kepada penduduk sekitar.

Pantai Iboih

Pantai Iboih (doc JH)
Pantai Iboih (doc JH)

Tak jauh dari Pantai Gapang ke arah Barat Laut terdapat sebuah pantai yang digadang-gadang sebagai pantai terbaiknya yang ada di Pulau Weh yaitu Pantai Iboih (penduduk setempat mengejanya Iboh). Dan memang benar di sini memiliki pemandangan indah apalagi yang terdapat di bawah permukaan air lautnya. Sesampainya di sana kami langsung menuju tempat penyewaan alat snorkel seperti pelampung, kacamata, serta fin seharga 40 ribu per satu unit. Tak lengkap rasanya apabila berkunjung ke Iboih bila tidak menyeberang ke Pulau Rubiah. Pulau mungil nan sepi tersebut merupakan salah satu daya tarik apabila kita berkunjung ke sana.

Harga sewa boat untuk pulang pergi yaitu 150 ribu dengan jumlah penumpang mulai 3 hingga 11 orang. Apabila ingin menyewa boat untuk keliling pulau pun ada, bahkan kapal dengan lantai kaca pun ada untuk menikmati suasana bawah laut di Pantai Iboih. Oh ya apabila ada yang senang menyelam, tersedia juga penyewaan alat selam berikut instrukturnya.  Hanya saja untuk diving saya tidak sempat bertanya tentang harga yang ditawarkan oleh penyedia.

Anjungan di Pantai Iboih, lengkap dengan kedainya (doc JH)
Anjungan di Pantai Iboih, lengkap dengan kedainya (doc JH)

Snorkeling

Hampir kebanyakan pengunjung pasti akan menyempatkan diri merasakan ber-snorkeling ria di pantai Iboih atau Pulau Rubiah. Begitu juga dengan kami. Tanpa perlu berenang jauh dari garis pantai Pulau Rubiah, kita sudah disajikan oleh pemandangan laut yang luar biasa. Terumbu karang berwarna warni tetiba berada di hadapan kita secara langsung. Tampak ikan-ikan berwarna biru terang (temannya Nemo) berenang hilir mudik. Saya pun bahkan melihat langsung kuda laut yang berada di dasar laut. Di satu kesempatan terlihat kerang berwarna kemerahan yang apabila kita dekatkan tangan kita kepadanya mulut sang kerang pun bergerak merespon dengan lucunya. Benar-benar mengasyikkan hingga tanpa sadar kepala saya pernah menabrak karang yang memang tingginya mencapai permukaan air. Hampir tiga jam kami menghabiskan untuk menikmati keindahan bawah laut Iboih juga yang berada di sisi Timur Pulau Rubiah. Hanya saja di bagian Timur pemandangan bawah lautnya tidak sebagus di selat Iboih. Justru saya banyak melihat bulu babi yang bertebaran laiknya ranjau laut.

Kenampakan Pantai Iboih
Kenampakan Pantai Iboih

Saya bersyukur sudah mengunjungi Pulau Weh. Sebenarnya masih banyak objek wisata yang belum sempat untuk dikunjungi. Mengingat keterbatasan waktu, mau tidak mau harus diakhirkan berpelesir di Pulau Weh. Apalagi jika mengingat pulang di Hari Minggu akan lebih sulit mendapatkan karcis kapal menuju Ulee Lheue dari Balohan dibandingkan di Hari Sabtu. Tulisan selanjutnya akan banyak bercerita hasil kunjungan ke Kota yang pernah diluluhlantakkan oleh bencana tsunami 2004 silam, yakni Banda Aceh.

~bersambung…