Weekend tiba lebih cepat dari pekan-pekan sebelumnya karena kebetulan Jumat di pekan ini adalah tanggal merah. Yippie! Kesempatan emas ini tentunya tidak bisa dilepaskan begitu saja. Saya dan dua teman berencana untuk mengunjungi Taman Nasional Gunung Leuseur yang sudah kesohor dengan obyek ekowisata dan orangutannya. Pada hari yang ditentukan, ditentukanlah titik kumpul (tikum) yang sudah ditentukan yaitu Terminal Pinang Baris. Sayangnya, satu teman membatalkan kepergiannya dikarenakan ada urusan sehingga hanya saya dan satu orang teman yang akhirnya pergi ke Bukit Lawang.
Sambil menunggu minibus yang akan berangkat ke Bukit Lawang, kami duduk di area sekitar terminal yang ditemani oleh semriwing bau pesing dan bau tak sedap. Yah, begitulah kondisi kebanyakan terminal di Indonesia. Kumuh kondisinya. Tak lama, minibus Pembangunan Semesta tiba dihadapan kami dan tanpa pikir panjang langsung menaikinya tepat dibelakang punggung supir.
Perjalanan menuju Bukit Lawang memakan waktu kurang lebih tiga jam. Kondisi jalanan menuju Bukit Lawang cukup bagus. Hanya di beberapa lokasi saja agar berbatu. Namun bisa dibilang secara umum sangat accessible jalurnya. Jika minibus melewati jalanan yang rusak, bersiaplah terbangun dari lamunan atau tidur karena goncangannya sangat sexy. Bisa dibilang minibus tersebut sudah tidak memiliki shock breaker lagi, hehehe. Sepanjang perjalanan kita akan disajikan oleh pemandangan rumah-rumah penduduk, sawah, atau kebun sawit. Saat melewati Turangie Palm Oil Mill sejenak pikiran saya melayang kembali ke Bah Lias. Mengenang memori-memori yang sudah tersimpan pada kotak masa lalu saya. Kalo lagu Slank-nya, “Terlalu maniiis, untuk dilupakannn….”. Skip.
Minibus menepi kemudian memasuki pelataran Terminal Bukit Lawang. Kondisi terminal yang menyatu dengan pasar sudah bisa ditebak wajahnya. Permukaan jalan di terminal berbatu, jika sehabis hujan akan menyisakan genangan air di sana-sini. Di bagian tengah terminal terdapat selasar yang digunakan oleh pedagang rokok dan warung kopi untuk menjual makanan kepada supir-supir minibus, tukang becak, atau ojeg. Tanpa pikir panjang kami langsung menaiki becak menuju kawasan Bukit Lawang.
Matahari sudah akan menjelang ke peraduannya begitu kami menapaki kawasan wisata Bukit Lawang. Hujan pun belum lama berhenti sehingga kondisi agak sedikit redup. Beberapa warung bahkan sedang bersiap untuk tutup. Kami menapaki jalan berbatu untuk menyeberangi Sungai Landak dengan tujuan mencari penginapan satu malam. Setalh deal dengan empunya penginapan, kami langsung bernegosiasi dengan porter kami guna acara keesokan paginya.
Tepat jam 07.30, kami langsung start petualangan menuju lokasi yang sudah lama ditemukan sejak tahun 70-an. Tujuan kami yaitu ke Goa Kampret. Waktu perjalanan dari penginapan menuju goa hanya memakan waktu setengah jam dengan kondisi jalur yang sangat baik karena sudah lama dibuka. Kami hanya melewati kebun karet dan sawit milik rakyat selama perjalanan menuju goa.
Untuk masuk ke goa, kita harus melewati celah bebatuan yang sempit dan terjal. Beberapa tangga bantuan untuk menyangga kaki kita dibuat oleh pengelola untuk kemudahan melewati jalur tersebut. Pintu masuk goa berupa rongga yang lebar. Dinding-dinding goa berwarna krem dan kehijauan. Itu yang hanya terlihat ketika ada sinar matahari yang menjadi sumber cahaya masuk melalui celah goa. Jika masuk lebih ke dalam kita harus membawa sumber penerangan tambahan karena keadaan gelap gulita.

Atap goa menjadi tempat beristirahat bagi ratusan kelelawar pada siang hari. Sinarilah dengan lampu blitz kamera, maka cericit kelelawar akan terdengar bersahutan. Bagaimana dengan bentukan batuan di dalam goa? Sebagaimana lazimnya goa, rembesan air dari bagian atap akan menghasilkan stalaktit atau stalakmit. Di bagian terujung goa kita bisa menemukan stalaktit yang unik. Stalakmit tersebut menempel pada dinding goa, namun terlihat seolah terbang karena bagian dasarnya tidak menempel pada lantai goa. Ada juga batu yang menyerupai bentuk binatang. Saya melihatnya seperti kura-kura namun kata yang lainnya nampak seperti seekor naga.


Puas menikmati goa kampret lantas kami berbalik arah kembali keluar. Tujuan berikutnya yaitu berburu makhluk berbulu merah yang biasa bergelantungan di pepohonan, orangutan. Belum lama kami berjalan, kami sudah disambut ratusan anak tangga menembus bukit dengan kemiringan yang cukup membuat nafas tersengal. Ritme nafas saya awalnya tidak beraturan, kembang kempis bak pompa roda lawas karena saking bersemangatnya. Sejenak menenangkan dan mengatur ritme nafas, akhirnya ritme menanjak bisa saya dapatkan dengan langkah teratur. Peluh pun mulai membanjiri kening. Walau sinar matahari tidak sampai menembus kanopi, olahraga jantung membuat peluh tidak berhenti mengalir bak rembesan air pada genteng yang bocor.
Di pintu perbatasan taman nasional, kami harus melewati pos penjaga taman nasional dan menyerahkan izin masuk taman nasional yang sudah diuruskan oleh pemandu kami. Tampak di depan kami serombongan keluarga yang sudah mulai menembus rerimbunan hutan. Beberapa juga kami lihat sekelompok turis asing. Nampak oleh saya dua bidadari dari Khayangan Jerman yang sudah melintas jalur untuk mencari orangutan. Ada juga turis asing wanita (nampaknya dari Timur Tengah atau Malaysia) yang sendirian (berdua dengan pemandu tentunya) untuk menjelajah Bukit Lawang. Gear sepatu dan kondisi tas backpacknya (yang berinisial “d”) menyiratkan bahwa dia sudah cukup sering berpesintas secara backpacker.
Setelah menyusur rerimbunan jalur setapak, akhirnya ada titik terang. Terlihat serombongan orang yang berkerumun. Voila! Di atas pepohonan nampak dua sosok (satunya berukuran besar dan satunya mungil) sedang nongkrong di dahan mengamati para sekumpulan manusia yang dibuat penasaran oleh kehadirannya. Bulu merahnya nampak kontras dengan warna di sekelilingnya. Saya cukup terkejut dan takjub. Untuk pertama kalinya saya melihat orangutan langsung di habitatnya. Bukan melihat dari kebun binatang atau pusat primata.

Hampir seluruh wisatawan langsung mengabadikan orangutan dan bayinya, tak terkecuali saya. Secara bergantian pun orang-orang berfoto dengan latar orangutan. Pemandu kami sempat memberikan beberapa buah pisang kepada orangutan yang secara sigap diterimanya. Orangutan bergelayutan menuju dahan yang lebih rendah kemudian menerima pemberian buah pisang dari pemandu yang langsung dimakannya dengan lahapnya. Pemandu memberitahu kami bahwa orangutan betina tersebut bernama Pesek. Bayinya tak ketinggalan tingkah polahnya. Mungkin melihat banyaknya mata tertuju padanya, si bayi senang bermain sambil bergelayutan diantara dahan-dahan pohon. Tak jarang ketika dia bergelayutan dan menggantung pada dahan yang agak lemah, sontak refleksnya mencari-cari dengan sigapnya dahan terdekat yang bisa diraihnya agar tidak terjatuh. Sungguh lucu tingkah polahnya. Nampaknya dia sedang mencari perhatian dari para wisatawan. Hampir seluruh wisatawan tertawa melihat tingkah caper si bayi Pesek tersebut.
Puas bertemu Pesek dan bayi lucunya, kami melanjutkan perjalanan menuju lebih ke dalam hutan. Siapa tahu bertemu orangutan lagi. Setelah berputar-putar ternyata tak kunjung jua kami bertemu ada tanda-tanda orangutan. Pemandu kami dan seorang teman sempat melihat sesosok burung merak (orang setempat menyebutnya tiko). Namun, belum sempat saya melihatnya untuk diabadikan, si burung sudah menyadari kehadiran kami lalu menghilang secepat kilat. We didn’t lucky.
Tak berapa lama kami istirahat. Saya mencoba mereahkan badan pada gundukan kayu yang sudah lapuk. Baru saja mengatur nafas, terasa di jempol kanan kaki saya sesuatu bergerak-gerak dan menggelikan rasanya. Saya sudah menyadarinya, pasti pacet! Benar saja, saya lihat pacet sedang menyensor permukaan kulit jempol kaki saya. Mungkin sedang mencari area yang siap untuk dihisap. Secepat kilat saya gibas dengan daun kering. Naas, karena badannya sudah lengket, pacet masih menempel. Pacet masih berusaha untuk menempelkan mulutnya utuk mengisap darah saya. Saya tidak rela hahaha. Akhirnya sambil menahan rasa geli di jempol, saya keluarkan senjata pamungkas saya, sebotol kecil minyak angin. Saya teteskan ke jempol kaki dan sekejap saja si pacet menyerah dan melepaskan diri dari jempol kaki saya. Bye pacet.
Fix, nampaknya orangutan susah ditemui lagi dalam penjelajahan pagi menjelang siang ini. Kami memutuskan untuk menuju sungai mempersiapkan tubing kembali ke penginapan. Dalam perjalanan menuju lembah, kami menyusuri anak tangga sampai bawah. Di tengah perjalanan ternyata ada satwa endemik yang sedang memerhatikan kami dari tingginya dahan-dahan pohon. Yup, Thomas hadir untuk memberi salam pada kami. Thomas, atau surili merupakan satwa terancam punah yang hanya dapat ditemui di Leuser. Populasinya menyusut seiring dengan laju deforestasi. Hewan ini sangat ramah walaupun masih liar. Mereka berani mendekati kami. Tak berpikir panjang kami pun mengupas pisang dan langsung diberikan kepada mereka dari telapak tangan kami. Menarik! Tak lupa saya mengambil beberapa gambar hewan langka ini. Kondisi cahaya cukup sulit karena matahari meninggi dan saya baru sadari saya tidak menyetel filter ND pada kamera saat mengambil gambar. Namun, beberapa gambar cukup bisa mengabadikan potret hewan ramah ini. Tak berapa lama kami bercengkrama dengan Thomas, sekelompok topeng monyet (monyet yang biasa dipakai topeng monyet keliling di kampung) tiba. Matanya usil, mengamati barang-barang bawaan kami untuk mengambil makanan. Beberpa pisang yang kami ulurkan untuk si Thomas pun kerap dicuri oleh si topeng monyet. Sungguh usil dan nakal topeng monyet ini. Aargh, kedatangan topeng monyet membuat kondisi semakin tidak nyaman. Saatnya menuruni ke lembah untuk melanjutkan tubing.

Sebelum memulai tubing, saya sempat mengabadikan air terjun yang ada di dekat camp taman nasional di lembah. Walaupun sudah tahu hasil foto tidak akan maksimal karena pantulan matahari yang sudah tinggi, saya tetap menyempatkan untuk mengambil beberapa gambar air terjun.

Barang dan tas kami dikemasi ke dalam kantong plastik. Tubes sudah disiapkan. Tanpa pikir panjang kami langsung menaiki dan berlayar menuju penginapan di bawah. Karena arus Sungai landak yang tidak terlalu besar, perjalanan tidak cukup mengalirkan adrenalin. Hanya sesekali ajlut-ajlutan dengan kadar yang biasa saja. Overall menghibur tetapi tidak cukup menantang. Tak sampai setengah jam tubes sudah mencapai lokasi terakhir. Tubes lantas ditambatkan dan kami menyempatkan mandi untuk membilas di Sungai Landak. Setelah menyelesaikan pembayaran dengan pemandu, lantas kami menikmati semangkuk mie instan rebus + cabai rawit dan berkemas untuk kembali ke Medan.
Beberapa Catatan Logistik
untuk menuju Bukit Lawang dari Medan bisa ditempuh menggunakan angkutan umum minibus Pembangunan Semesta dari Pinang baris. Ongkos sebesar Rp. 25.000 hingga terminal Bukit Lawang. Dari Terminal Bukit Lawang bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki (para bule banyak yang melakukan ini) atau menyewa becak motor dengan ongkos Rp. 10.000. Akomodasi di Bukit Lawang bervariasi dari yang seharga Rp. 50.000 per malamnya hingga Rp. 500.000. Harga makanan sedikit lebih tinggi dari harga normal.