Taman Nasional Gunung Leuser

Weekend tiba lebih cepat dari pekan-pekan sebelumnya karena kebetulan Jumat di pekan ini adalah tanggal merah. Yippie! Kesempatan emas ini tentunya tidak bisa dilepaskan begitu saja. Saya dan dua teman berencana untuk mengunjungi Taman Nasional Gunung Leuseur yang sudah kesohor dengan obyek ekowisata dan orangutannya. Pada hari yang ditentukan, ditentukanlah titik kumpul (tikum) yang sudah ditentukan yaitu Terminal Pinang Baris. Sayangnya, satu teman membatalkan kepergiannya dikarenakan ada urusan sehingga hanya saya dan satu orang teman yang akhirnya pergi ke Bukit Lawang.

Sambil menunggu minibus yang akan berangkat ke Bukit Lawang, kami duduk di area sekitar terminal yang ditemani oleh semriwing bau pesing dan bau tak sedap. Yah, begitulah kondisi kebanyakan terminal di Indonesia. Kumuh kondisinya. Tak lama, minibus Pembangunan Semesta tiba dihadapan kami dan tanpa pikir panjang langsung menaikinya tepat dibelakang punggung supir.

Perjalanan menuju Bukit Lawang memakan waktu kurang lebih tiga jam. Kondisi jalanan menuju Bukit Lawang cukup bagus. Hanya di beberapa lokasi saja agar berbatu. Namun bisa dibilang secara umum sangat accessible jalurnya. Jika minibus melewati jalanan yang rusak, bersiaplah terbangun dari lamunan atau tidur karena goncangannya sangat sexy. Bisa dibilang minibus tersebut sudah tidak memiliki shock breaker lagi, hehehe. Sepanjang perjalanan kita akan disajikan oleh pemandangan rumah-rumah penduduk, sawah, atau kebun sawit. Saat melewati Turangie Palm Oil Mill sejenak pikiran saya melayang kembali ke Bah Lias. Mengenang memori-memori yang sudah tersimpan pada kotak masa lalu saya. Kalo lagu Slank-nya, “Terlalu maniiis, untuk dilupakannn….”. Skip.

Minibus menepi kemudian memasuki pelataran Terminal Bukit Lawang. Kondisi terminal yang menyatu dengan pasar sudah bisa ditebak wajahnya. Permukaan jalan di terminal berbatu, jika sehabis hujan akan menyisakan genangan air di sana-sini. Di bagian tengah terminal terdapat selasar yang digunakan oleh pedagang rokok dan warung kopi untuk menjual makanan kepada supir-supir minibus, tukang becak, atau ojeg. Tanpa pikir panjang kami langsung menaiki becak menuju kawasan Bukit Lawang.

Matahari sudah akan menjelang ke peraduannya begitu kami menapaki kawasan wisata Bukit Lawang. Hujan pun belum lama berhenti sehingga kondisi agak sedikit redup. Beberapa warung bahkan sedang bersiap untuk tutup. Kami menapaki jalan berbatu untuk menyeberangi Sungai Landak dengan tujuan mencari penginapan satu malam. Setalh deal dengan empunya penginapan, kami langsung bernegosiasi dengan porter kami guna acara keesokan paginya.

Tepat jam 07.30, kami langsung start petualangan menuju lokasi yang sudah lama ditemukan sejak tahun 70-an. Tujuan kami yaitu ke Goa Kampret. Waktu perjalanan dari penginapan menuju goa hanya memakan waktu setengah jam dengan kondisi jalur yang sangat baik karena sudah lama dibuka. Kami hanya melewati kebun karet dan sawit milik rakyat selama perjalanan menuju goa.

Untuk masuk ke goa, kita harus melewati celah bebatuan yang sempit dan terjal. Beberapa tangga bantuan untuk menyangga kaki kita dibuat oleh pengelola untuk kemudahan melewati jalur tersebut. Pintu masuk goa berupa rongga yang lebar. Dinding-dinding goa berwarna krem dan kehijauan. Itu yang hanya terlihat ketika ada sinar matahari yang menjadi sumber cahaya masuk melalui celah goa. Jika masuk lebih ke dalam kita harus membawa sumber penerangan tambahan karena keadaan gelap gulita.

Kampret
Kampret

Atap goa menjadi tempat beristirahat bagi ratusan kelelawar pada siang hari. Sinarilah dengan lampu blitz kamera, maka cericit kelelawar akan terdengar bersahutan. Bagaimana dengan bentukan batuan di dalam goa? Sebagaimana lazimnya goa, rembesan air dari bagian atap akan menghasilkan stalaktit atau stalakmit. Di bagian terujung goa kita bisa menemukan stalaktit yang unik. Stalakmit tersebut menempel pada dinding goa, namun terlihat seolah terbang karena bagian dasarnya tidak menempel pada lantai goa. Ada juga batu yang menyerupai bentuk binatang. Saya melihatnya seperti kura-kura namun kata yang lainnya nampak seperti seekor naga.

Stalaktit terbang
Stalaktit terbang
Batu hewan
Batu hewan

Puas menikmati goa kampret lantas kami berbalik arah kembali keluar. Tujuan berikutnya yaitu berburu makhluk berbulu merah yang biasa bergelantungan di pepohonan, orangutan. Belum lama kami berjalan, kami sudah disambut ratusan anak tangga menembus bukit dengan kemiringan yang cukup membuat nafas tersengal. Ritme nafas saya awalnya tidak beraturan, kembang kempis bak pompa roda lawas karena saking bersemangatnya. Sejenak menenangkan dan mengatur ritme nafas, akhirnya ritme menanjak bisa saya dapatkan dengan langkah teratur. Peluh pun mulai membanjiri kening. Walau sinar matahari tidak sampai menembus kanopi, olahraga jantung membuat peluh tidak berhenti mengalir bak rembesan air pada genteng yang bocor.

Di pintu perbatasan taman nasional, kami harus melewati pos penjaga taman nasional dan menyerahkan izin masuk taman nasional yang sudah diuruskan oleh pemandu kami. Tampak di depan kami serombongan keluarga yang sudah mulai menembus rerimbunan hutan. Beberapa juga kami lihat sekelompok turis asing. Nampak oleh saya dua bidadari dari Khayangan Jerman yang sudah melintas jalur untuk mencari orangutan. Ada juga turis asing wanita (nampaknya dari Timur Tengah atau Malaysia) yang sendirian (berdua dengan pemandu tentunya) untuk menjelajah Bukit Lawang. Gear sepatu dan kondisi tas backpacknya (yang berinisial “d”) menyiratkan bahwa dia sudah cukup sering berpesintas secara backpacker.

Setelah menyusur rerimbunan jalur setapak, akhirnya ada titik terang. Terlihat serombongan orang yang berkerumun. Voila! Di atas pepohonan nampak dua sosok (satunya berukuran besar dan satunya mungil) sedang nongkrong di dahan mengamati para sekumpulan manusia yang dibuat penasaran oleh kehadirannya. Bulu merahnya nampak kontras dengan warna di sekelilingnya. Saya cukup terkejut dan takjub. Untuk pertama kalinya saya melihat orangutan langsung di habitatnya. Bukan melihat dari kebun binatang atau pusat primata.

Pesek dan bayinya yang lucu
Pesek dan bayinya yang lucu

Hampir seluruh wisatawan langsung mengabadikan orangutan dan bayinya, tak terkecuali saya. Secara bergantian pun orang-orang berfoto dengan latar orangutan. Pemandu kami sempat memberikan beberapa buah pisang kepada orangutan yang secara sigap diterimanya. Orangutan bergelayutan menuju dahan yang lebih rendah kemudian menerima pemberian buah pisang dari pemandu yang langsung dimakannya dengan lahapnya. Pemandu memberitahu kami bahwa orangutan betina tersebut bernama Pesek. Bayinya tak ketinggalan tingkah polahnya. Mungkin melihat banyaknya mata tertuju padanya, si bayi senang bermain sambil bergelayutan diantara dahan-dahan pohon. Tak jarang ketika dia bergelayutan dan menggantung pada dahan yang agak lemah, sontak refleksnya mencari-cari dengan sigapnya dahan terdekat yang bisa diraihnya agar tidak terjatuh. Sungguh lucu tingkah polahnya. Nampaknya dia sedang mencari perhatian dari para wisatawan. Hampir seluruh wisatawan tertawa melihat tingkah caper si bayi Pesek tersebut.

Puas bertemu Pesek dan bayi lucunya, kami melanjutkan perjalanan menuju lebih ke dalam hutan. Siapa tahu bertemu orangutan lagi. Setelah berputar-putar ternyata tak kunjung jua kami bertemu ada tanda-tanda orangutan. Pemandu kami dan seorang teman sempat melihat sesosok burung merak (orang setempat menyebutnya tiko). Namun, belum sempat saya melihatnya untuk diabadikan, si burung sudah menyadari kehadiran kami lalu menghilang secepat kilat. We didn’t lucky.

Tak berapa lama kami istirahat. Saya mencoba mereahkan badan pada gundukan kayu yang sudah lapuk. Baru saja mengatur nafas, terasa di jempol kanan kaki saya sesuatu bergerak-gerak dan menggelikan rasanya. Saya sudah menyadarinya, pasti pacet! Benar saja, saya lihat pacet sedang menyensor permukaan kulit jempol kaki saya. Mungkin sedang mencari area yang siap untuk dihisap. Secepat kilat saya gibas dengan daun kering. Naas, karena badannya sudah lengket, pacet masih menempel. Pacet masih berusaha untuk menempelkan mulutnya utuk mengisap darah saya. Saya tidak rela hahaha. Akhirnya sambil menahan rasa geli di jempol, saya keluarkan senjata pamungkas saya, sebotol kecil minyak angin. Saya teteskan ke jempol kaki dan sekejap saja si pacet menyerah dan melepaskan diri dari jempol kaki saya. Bye pacet.

Fix, nampaknya orangutan susah ditemui lagi dalam penjelajahan pagi menjelang siang ini. Kami memutuskan untuk menuju sungai mempersiapkan tubing kembali ke penginapan. Dalam perjalanan menuju lembah, kami menyusuri anak tangga sampai bawah. Di tengah perjalanan ternyata ada satwa endemik yang sedang memerhatikan kami dari tingginya dahan-dahan pohon. Yup, Thomas hadir untuk memberi salam pada kami. Thomas, atau surili merupakan satwa terancam punah yang hanya dapat ditemui di Leuser. Populasinya menyusut seiring dengan laju deforestasi. Hewan ini sangat ramah walaupun masih liar. Mereka berani mendekati kami. Tak berpikir panjang kami pun mengupas pisang dan langsung diberikan kepada mereka dari telapak tangan kami. Menarik! Tak lupa saya mengambil beberapa gambar hewan langka ini. Kondisi cahaya cukup sulit karena matahari meninggi dan saya baru sadari saya tidak menyetel filter ND pada kamera saat mengambil gambar. Namun, beberapa gambar cukup bisa mengabadikan potret hewan ramah ini. Tak berapa lama kami bercengkrama dengan Thomas, sekelompok topeng monyet (monyet yang biasa dipakai topeng monyet keliling di kampung) tiba. Matanya usil, mengamati barang-barang bawaan kami untuk mengambil makanan. Beberpa pisang yang kami ulurkan untuk si Thomas pun kerap dicuri oleh si topeng monyet. Sungguh usil dan nakal topeng monyet ini. Aargh, kedatangan topeng monyet membuat kondisi semakin tidak nyaman. Saatnya menuruni ke lembah untuk melanjutkan tubing.

Thomas
Thomas

Sebelum memulai tubing, saya sempat mengabadikan air terjun yang ada di dekat camp taman nasional di lembah. Walaupun sudah tahu hasil foto tidak akan maksimal karena pantulan matahari yang sudah tinggi, saya tetap menyempatkan untuk mengambil beberapa gambar air terjun.

Curug
Curug

Barang dan tas kami dikemasi ke dalam kantong plastik. Tubes sudah disiapkan. Tanpa pikir panjang kami langsung menaiki dan berlayar menuju penginapan di bawah. Karena arus Sungai landak yang tidak terlalu besar, perjalanan tidak cukup mengalirkan adrenalin. Hanya sesekali ajlut-ajlutan dengan kadar yang biasa saja. Overall menghibur tetapi tidak cukup menantang. Tak sampai setengah jam tubes sudah mencapai lokasi terakhir. Tubes lantas ditambatkan dan kami menyempatkan mandi untuk membilas di Sungai Landak. Setelah menyelesaikan pembayaran dengan pemandu, lantas kami menikmati semangkuk mie instan rebus + cabai rawit dan berkemas untuk kembali ke Medan.

Beberapa Catatan Logistik

untuk menuju Bukit Lawang dari Medan bisa ditempuh menggunakan angkutan umum minibus Pembangunan Semesta dari Pinang baris. Ongkos sebesar Rp. 25.000 hingga terminal Bukit Lawang. Dari Terminal Bukit Lawang bisa dilanjutkan dengan berjalan kaki (para bule banyak yang melakukan ini) atau menyewa becak motor dengan ongkos Rp. 10.000. Akomodasi di Bukit Lawang bervariasi dari yang seharga Rp. 50.000 per malamnya hingga Rp. 500.000. Harga makanan sedikit lebih tinggi dari harga normal.

Get Away

Prolog

Fungsi blog yang saya buat semata-mata hanya untuk mengarsipkan tulisan agar mudah diakses. Syukur-syukur malah bisa bermanfaat buat orang banyak. Kebanyakan mungkin tulisan seputar kunjungan ke suatu tempat atau tutorial-tutorial terkait SIG dan komputer. Dahulu saya terbiasa untuk membuat draf tulisan pada perangkat microsoft word kemudian saat sempat baru saya posting ke blog. Namun akhir-akhir ini terbiasa dengan cara akses langsung ke blog. Siang tadi malah menemukan cara baru yaitu mengunduh aplikasi wordpress di android. Lebih simpel.

Ide menulis bisa muncul kapanpun. Bagi saya, jika tidak langsung ditulis maka akan beresiko lupa akan deskripsi idenya, entah itu deskripsi tempat atau apapun. Namun bisa terbantu dengan adanya dokumentasi yang bisa sedikit banyak menjadi alat untuk mendeskripsikan ide atau suatu lokasi. Tulisan di bawah sebenarnya hasil kunjungan ke Berau pada awal tahun 2014. Namun baru sempat dituliskan sekarang ini.

Teluk Sumbang : Beranjangsana ke Rumah Nenek

Bekerja sambil jalan-jalan ke tempat baru memang menarik. Setelah berpenat ria untuk menyelesaikan tuntutan pekerjaan, di sisa waktu sambil menunggu kepulangan tak ada salahnya untuk memanfaatkan waktu mencuci mata ke tempat menarik. Dengan berkunjung ke tempat menarik akan ada pengalaman baru yang siap diceritakan kepada keluarga, teman, atau ke diri sendiri.

Ada pengalaman menarik saat saya berkunjung ke Teluk Sumbang di Kabupaten Berau. Teluk Sumbang bisa dicapai dari Teluk Sulaiman (Pangkalan TNI AL) dengan kapal motor selama kurang lebih satu jam. Untuk biayanya, nah, saya benar-benar lupa. Jika tidak salah sebesar empat ratus ribu untuk pulang-pergi.

Teluk Sumbang merupakan kampung yang tidak begitu ramai. Di pesisir banyak dihuni penduduk dari Sulawesi yang berprofesi sebagai nelayan. Hampir seluruh penduduk yang menghuni di bagian pesisirnya adalah muslim. Nah, adapun penduduk yang berada di agak pedalaman seluruhnya adalah orang Dayak yang bermata pencaharian sebagai petani ladang berpindah dan peternak. Agama yang dipeluk mereka yaitu Kristen.

Tujuan kunjungan saya dan kawan-kawan adalah mengunjungi air terjun bidadari yang tersohor di sana. Menurut informasi dari penduduk, terdapat tiga air terjun di Teluk Sumbang. Yang palng indah terletak lebih di pedalaman. Karena kami tiba saat hari sudah sangat siang, kami tak kebagian penduduk dari suku Dayak yang bisa mengantar kami ke lokasi. Para penunjuk jalan sudah jalan terlebih dahulu saat pagi. Kami mafhum, sudah pasti ukup memakan waktu untuk ke lokasi sehingga mereka memilih jalan lebih pagi. Beruntunglah para pelancong yang sempat berangkat pagi itu.

Di kampung Dayak, karena tak kunjung mendapatkan penunjuk jalan yang bersedia mengantar, kami berbincang dengan beberapa anak kecil yang sedang bermain. Bingo. Kami mendapat informasi air terjun kedua yang tak jauh dari kampung lokasinya. Untuk lokasi air terjun pertama sih mudah ditemukan karena lokasinya tak jauh dari pelabuhan setempat. Akhirnya dua orang anak kecil bersedia untuk mengantar kami menuju air terjun bidadari kedua.

Sambil megusap sisa ingus di hidungnya kedua anak kecil beranjak pergi meninggalkan kampung Dayak. Berjalan menyusuri jalan setapak dengan rerumputan yang tampak meregang nyawa karena mulai sering dilewati, langit tampak mendung. Sempat kami lewati perladangan milik penduduk setempat juga pesawah yang tak seberapa luasnya. Di sebuah kubangan terlihat beberapa kerbau sedang mandi lumpur dengan asyiknya. Salah satunya kerbau bule yang tampak mencolok warnanya.

Jalur jalan setapak sudah habis, kedua anak kecil tampak masuk melalui semak. Ternyata jalurnya baru dirintis belum lama. Mungkin karena banyak pelancong yang datang sehingga dibuatkan jalur baru. Sekonyong-konyong kami harus menyiapkan tenaga ekstra untuk menuruni lereng yang curam juga licin. Kami harus berhati-hati juga dengan tumbuhan sejenis pandan yang tumbuh di sepanjang jalur. Bahkan, kami harus meniti pohon yang tumbang di lereng. Di ujung jalur sudah tampak air terjun juga gemericik airnya yang terdengar hingga jauh. Namun untuk mencapai air terjun kami harus melewati sungai selebar kurang lebih sepuluh meter dengan jembatan alam! Ya, satu-satunya cara yaitu dengan meniti pohon besar yang tumbang melintangi sisi ke sisi sungai. Di bagian tengah, batang pohon bahkan terendam hingga ketinggian tulang kering kaki saya.

Saya curiga semenjak melihat sungai yang kami lintasi tersebut alirannya tidak deras karena saya yakin memiliki kedalaman yang lumayan. Permukaannya tenang berwarna kehijauan dan dasarnya tidak tampak. Di sisi-sisi sungai terdapat tumbuhan pandan ‘raksasa’ yang cukup lebat. Sejujurnya pemandangannya cukup menyeramkan, terlihat seperti masih sangat alami.

Air terjuan bidadari 2
Air terjuan bidadari 2

Sampai di lokasi, kami langsung mengabadikan potret kami selama beberapa waktu. Air terjunnya sendiri menurut saya biasa saja. Kira-kira hanya memiliki ketinggian tidak lebih dari dua meter. Awalnya kami berniat untuk berenang. Namun entah kenapa perasaan saya saat itu tidak enak. Salah seorang kawan malah menyempatkan untuk BAB di sekitar lokasi karena tidak bisa menahan tekanan zat padat di usus besarnya. Tidak lama kami menghabiskan waktu di sana. Saat pulang kami kembali melewati jalur yang dilewati saat berangkat. Meniti jembatan alam yang terendam (sekarang saya menyesal tidak mengabadikan momen ini) hingga jalur rintisan di semak-semak yang rimbun.

Perjalanan pulang kami kembali melewati perladangan yang kebetulan empunya lahan sedang di sana (beliau sudah tua dan kami memanggilnya nenek). Melihat kami lewat beliau tersenyum dan sempat bertanya-tanya. Beliau sempat bertanya berapa orang jumlah rombongan, asal kampung halaman, dan sebagainya. Beliau pun sempat menimpali kami mengapa berani untuk berkunjung air terjun tersebut. Sang Nenek akhirnya mengatakan sesuatu yang di luar perkiraan kami. Beliau mengatakan tempat kami berfoto-foto dan lokasi jembatan tumbang tersebut merupakan lokasi yang memang terdapat buayanya (penduduk setempat menggunakan nenek sebagai pengganti kata buaya). Sejenak kami langsung tercengang dan saling melihat satu sama lain. Sekian.

 

Pagoda Shwedagon

Beberapa hari terakhir, Kota Medan selalu diguyur hujan. Ditambah dengan hari libur yang berselang-seling, paduan membaca roman dan beristirahat di dalam kamar adalah komposisi paling pas untuk membunuh waktu. Bahkan untuk sekedar keluar mencari makan adalah hal yang paling tidak diinginkan walaupun perut lapar mencekik lambung.

Keesokan harinya, mentari memamerkan nafas hangatnya. Waktu yang sangat disayangkan untuk dihabiskan di dalam kamar. Tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi kawan untuk keluar kota mencari udara segar. Sayangnya yang bersangkutan tidak bisa. Berhubung niat sudah terpatri dengan kokohnya, maka saya memutuskan untuk ber-solo trip.

Awal perjalanan sudah dihiasi cerita salah naik angkot menuju Simpang Pos. Terus terang, selama tinggal di kota ini saya lebih banyak menghabiskan perjalanan dalam kota menggunakan motor. Sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan saya mengingat trayek angkot yang ada di Medan. Setelah bergelut dengan ingatan (dan tanpa bertanya barang seorang pun) akhirnya tiba lah akhirnya saya di Simpang Pos. Simpang Pos adalah salah satu lokasi yang padat dengan aktivitas perpindahan manusia (maksudnya transportasi) dari atau menuju luar kota.

Sekonyong-konyong nampak deretan mobil Elf Sumatera Transport berjejer menunggu penumpang. Tanpa pikir panjang saya turun dari angkot dan menaiki Sutra terdepan. Walhasil saya duduk di bagian paling belakang. Terlebih dahulu saya memastikan kembali untuk mengingatkan lae kondektur untuk menurunkan saya nantinya di Simpang Tongkoh. Pada awalnya tujuan saya bukan di Simpang Tongkoh, namun setelah berpikir ulang dan mempertimbangkan masak-masak maka tujuan saya pada awalnya saya tunda di kemudian hari.

Sutra
Suasana tampak dalam Sutra

Selama perjalanan kami disuguhi berbagai macam tembang karo dan dangdut. Mulai dari lirik yang tak saya mengerti hingga yang saya mengerti. Saking ngertinya dalam hati saya berbahak. Liriknya seputar minum tuak yang bisa mengusir segala kebosanan. Sesekali saya pun disuguhi percakapan karo antara penumpang di sebelah dan depan saya. Sesekali curiga, jangan-jangan mereka sedang ngomongin saya. Persentuhan saya dengan masyarakat di sini membuat saya berpikir bahwa di hari tersebut saya sedang berdamai dengan diri sendiri. Tidak peduli dengan ketidak mengertian saya, saya nikmati sepenuh hati. Rasanya sudah lama saya tidak melakukan solo trip sejak masa mahasiswa. Jelas rasanya berbeda dan kelak saya akan melakukan hal sama untuk waktu ke depannya.

Hampir selama perjalanan, di kiri kanan disajikan pemandangan yang biasa saja. Namun kontur jalan yang curam sesekali membuat saya awas selama perjalanan. Tak terasa hampir dua jam saya berada di dalam Sutra. Saya turun di Simpang Tongkoh. Tempat ini dapat dikenali dari landmark tugu jeruk persis di pinggir jalan. Ongkos naik Sutra cukup murah. Hanya sepuluh ribu rupiah untuk menikmati kelokan jalan selama perjalanan dan keberingasan berkendara supirnya.

Karena sedikit ragu, saya bertanya kepada bocah penjaga warung (di sini lebih dikenal dengan nama kedai/kedae) mengenai arah jalan menuju Taman Lumbini. “Lurus saja ikuti jalan, terus belok kanan.” Jawabnya. Saya melanjutkan dengan berjalan kaki. Hari sebelumnya saya sudah meriset lokasi-lokasi yang akan saya kunjungi. Sehingga saya percaya diri untuk berjalan kaki. Memang jaraknya tidak terlalu jauh dari jalan lintas. Dengan berjalan santai, dapat ditempuh dengan waktu dua puluh menit saja. Taksiran saya jaraknya satu kilometer lebih.

Pagoda Emas
Pagoda Emas Shwedagon ala Indonesia

Tak berapa lama akhirnya saya sampai di lokasi. Sempat terkagum karena di hadapan saya berdiri dengan megahnya pagoda untuk peribadatan umat Budha. Yang bikin saya heran adalah karena lokasi yang berada di dataran tinggi dengan mayoritas penduduk batak karo yang notabene beragama Kristen atau Islam. Mungkin saja memang sengaja dibangun di tempat yang sejuk dan jauh dari keramaian.

Pengunjung yang ingin melihat langsung pagoda ini bisa berkunjung setiap hari mulai pukul 09.00 – 17.00 dan tanpa dipungut biaya. Kita hanya diharuskan mengisi buku tamu dan dipastikan tidak membawa makanan, minuman, dan rokok ke dalam kawasan pagoda. Di bagian depan pagoda, terdapat lapangan yang cukup luas dan di sini kebanyakan pengunjung mengabadikan potret mereka dalam fotografi. Di bagian lantai terlihat debu vulkanik yang tersamar tipis-tipis sebagai tanda bahwa pada pagi atau malam hari sebelumnya angin membawa debu vulkanik Sinabung sampai ke lokasi ini.

Saya tidak menyangka jika area Taman Lumbini ini cukup luas. Jika kita berjalan ke bagian belakang taman maka kita akan menjumpai jembatan yang menghubungkan antara dua bukit dan di dasar jembatan terdapat taman-taman lengkap dengan air mancur. Sungguh asri. Suasana pegunungan yang sejuk dan tenangnya lingkungan pagoda adalah kondisi yang sesuai untuk melepas kepenatan. Bangunan utama tentu saja yang menjadi pusat perhatian pengunjung. Dengan warna emas berkilauan dan beberapa menara di sekelilingnya lengkap dengan detil ornamennya memang benar-benar membuat kita sedang merasa di Burma atau Thailand (walaupun saya belum pernah ke dua negara tersebut).

Nah, bagaimana dengan ruang dalam pagoda? Sejujurnya pada awalnya saya sangat penasaran untuk masuk ke dalam. Hanya saja, pegawai kebersihan setempat hanya mengizinkan untuk masuk ke dalam pagoda untuk yang ingin bersembahyang saja. Sekilas saya melihat bule-bula yang langsung memasuki ruang dalam, saya sempat protes kepada si pegawai. Dia hanya beralasan sudah diperingatkan namun para bule itu tidak menurut. Saya sempat protes. Namun tidak mau memperpanjang masalah dan menghindari si pegawai tersebut. Saya harus menghormati aturan yang ada (walaupun lisan) dan tidak rugi juga sebenarnya jika tidak sempat masuk ke dalam.

Bagi yang senang dengan hal yang berkaitan dengan strawberry, jangan lewatkan kesempatan untuk membeli buah tersebut dengan langsung memetik dari pohonnya. Di sepanjang jalan menuju pagoda tersaji hamparan kebun strawberry yang bisa kita petik atau membeli bibitnya. Dari kejauhan, saya melihat satu keluarga yang sedang memetik buah strawberry bersama anak-anaknya.

Kita harus sadar, bahwa setiap tempat adalah unik dan menarik. Ternyata, tanpa perlu berjalan-jalan jauh ke luar negeri, di Indonesia, negeri yang kita cintai ini banyak tersebar objek-objek yang tak kalah menarik dengan negara tetangga. Ya, kita hanya butuh memulai perjalanan dan bereksplorasi sebanyak-banyaknya.

 

Trip to Land of Gods

Turis mancanegara mungkin lebih mengenal Bali daripada Indonesia. Ya, itu beberapa opini yang saya baca di media elektronik. Bahkan ironisnya, diantara mereka ada yang berkata “Indonesia? Di mananya Bali ya itu?” *Gubrak!

Sebagai bagian dari program kerja cinta tanah air bagi diri saya, saya sengaja menyempatkan untuk singgah ke Pulau Bali di sela kesibukan dinas. Sengaja, karena memang tidak direncanakan jauh-jauh hari dan waktu kunjungan yang sangat singkat sekali. Bahkan, ada beberapa tempat menarik yang akhirnya kami korbankan untuk tidak disinggahi karena tidak mencukupinya waktu selama saya dan kawan-kawan di sana.

Bermodalkan mobil carteran, akhirnya kami tiba di Denpasar sekitar pukul dua dini hari setelah menempuh perjalanan darat selama enam jam dari Kabupaten Banyuwangi. Waktu sekitar dua jam dimanfaatkan untuk tidur di tempat penginapan sederhana tak jauh dari Bandara Ngurah Rai. Dari lantai tiga bahkan terlihat jelas atap bandara Ngurah Rai yang memiliki model ombak-ombak yang mencerminkan objek wisata pantai yang banyak ditemui di Pulau Dewata. Tujuan pertama yaitu Pantai Sanur untuk menikmati fajar menyingsing di ufuk Timur. Sesampainya di lokasi, di luar ekspektasi, saya tidak begitu tertarik menikmati pemandangan yang ada. Kondisi pantai yang cukup kotor dan garis pantai yang biasa saja tak pelak membuat saya lekas ingin meninggalkan Pantai Sanur. Satu peristiwa yang cukup menarik perhatian saya yaitu ada beberapa orang lokal yang berdoa di pesisir pantai. Tanpa sungkan mereka menaruh sesajen dan duduk bersila sambil berdoa kepada Sang Hyang Widhi.

Image

Image

Snorkeling Time

Setelah Pantai Sanur tujuan berikutnya yaitu Tanjung Benoa. Menurut informasi, disinilah bisa kita jumpai berbagai permainan di pantai seperti snorkeling, diving, dive walking, banana boat, dan lain-lainnya. Di sini terdapat berbagai operator alias penyelenggara tur yang bisa kita pilih untuk menikmati permainan air tersebut. Pada awalnya saya dan kawan-kawan seperjalanan memutuskan untuk tur ke penangkaran Kura-kura. Namun, karena saya sendiri sudah berkunjung di Pulau Seribu akhirnya saya pengaruhi saja yang lainnya untuk ber snorkeling atau bahkan diving. Melalui negosiasi panjang di antara kami dan operator terkait dengan harga paket yang ditawarkan, akhirnya disepakati kami akan snorkeling di perairan sekitar Tanjung Benoa. Paket diving sebenarnya cukup menggoda karena harga yang ditawarkan lebih murah dari paket sama yang ada di Pulau Sabang. Entah kenapa saya ragu dan akhirnya memutuskan untuk bersnorkeling saja sambil memberi makan ikan-ikan.

Dengan menggunakan kapal motor, kami dibawa menjauh dari garis pantai dan ternyata spot snorkeling merupakan pantai dengan kedalaman delapan meter lebih. Agak sedikit kecewa karena dengan kedalaman tersebut kita akan kesulitan melihat objek di benthos karena dipastikan penglihatan kita terbatasi. Dan benar saja, saat bersnorkel ria objek yang terlihat agak kabur karena selain lokasinya lebih dalam ternyata air laut yang ada pun tidak terlalu bening. Jauh lebih bening yang ada di Pulau Sabang atau Pulau Seribu. Namun, saya percaya tiap tempat adalah unik, pasti memiliki kekhasannya masing-masing. Benar saja, saya turun ke air ikan pertama yang saya lihat adalah si ikan badut Nemo. Ikan tersebut terlihat gelisah dan bersembunyi diantara rerumputan dan anemone laut. Selebihnya yang saya lihat adalah gerombolan ikan dengan garis hitam yang hobi memakan roti tawar yang kami suguhkan di telapak tangan. Telapak tangan terasa sedikit geli ketika mereka ‘nrotol’ roti yang ada di telapak tangan. Dengan sedikit kibasan saja mereka akan berenang menjauh. Di sini akhirnya saya nekat untuk pertama kalinya berenang di tengah laut dengan melepas pelampung. Dengan begini tubuh akan sedikit lebih bebas karena bisa menyelam dengan ringan. Apabila memakai pelampung tentu kita tidak akan bisa menyelam dengan ringannya. Satu hal yang saya cermati pada terumbu karangnya yaitu banyak ornament tambahan seperti arca-arca batu yang bisa kita temui dan lihat beserta pagar untuk yang mengambil paket diving.

Image

Oleh-oleh

Selesai berpuas-puasan dengan snorkeling, dilanjutkan dengan berbelanja oleh-oleh di Krisna Bali. Pada akhirnya saya pribadi agak menyesal membeli beberapa oleh-oleh di sini karena lebih banyak pilihan yang ada di penjaja souvenir di Tanah Lot. Selain lebih banyak pilihannya juga bisa kita tawar. Semakin sore harganya semakin murah. Konsep berbelanja yang ditawarkan di Krisna Bali yaitu konsep berbelanja souvenir modern, harga tetap dan suasana yang lebih nyaman. Namun ya kembali ke selera masing-masing orang. Jika saya pribadi ditanya, tentunya saya lebih memilih berbelanja souvenir di Tanah Lot. Suasana toko souvenir di Tanah Lot mengingatkan saya dengan kondisi serupa di Samosir dan Tangkuban Perahu. Hamper persis penempatan toko-tokonya.

Kuta Rock City

Di Kuta, saya baru merasa di sinilah saya melihat Bali. Turis mancanegara dan lokal terlihat hilir mudik di sepanjang jalan baik berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor sewaan. Hotel, bar, toko-toko souvenir bermerk, dan penjaja dagangan bercampur baur menjadi satu. Inilah DTW, Daerah tujuan wisata yang dalam satu lokasi memiliki berbagai fasilitas, amenitas, dan aksesibilitas. Tiga factor yang menjadi minimal aspek dalam daerah wisata. Itulah yang saya pelajari di mata kuliah Geografi Pariwisata dan ‘tertinggal’ di otak saya 😛 .

Sampai sini ada penyesalan juga karena sudah dipastikan kami akan menghabiskan waktu sebentar saja untuk mengejar senja di Tanh Lot. Seharusnya porsi waktu di Kuta dilebih kan mengingat pantai yang lebih ciamik daripada di Sanur serta ombaknya yang aduhai. Banyak terlihat turis yang berselancar di antara ombak yang berkejaran. Saya sendiri dan beberapa kawan tidak ketinggalan bermain ombak sampai akhirnya penjaga pantai melarang dikarenakan kondisi ombak yang semakin kurang bersahabat.

Image

 

Tanah Lot, senja yang tak kunjung datang

Selesai puas bermain ombak di Kuta, kami langsung meluncur ke Tanah Lot. Langit digelayuti mendung dan tak lama memang sedikit demi sedikit rintik hujan turun membasahi Pulau Dewata. Senja yang ditunggu itu akhirnya tak kunjung tiba karena terhalang awan. Tapi, suasana dan pemandangan di sini cukup menghibur karena perpaduan angin pantai, ombak yang berdebur, dan pemandangan yang aduhai cukup memanjakan pikiran saya untuk rileks sejenak menjauhi hingar bingar kota dan pekerjaan.

Selain objek pemandangan pura di tebing pantai yang melegenda (banyak saya lihat di kartu pos) tersebut di bagian celah-celah tebing juga terdapat petilasan yang (katanya) dihuni ular sakti. Dengan menyumbang uang dua ribu kita bisa melihat dan memegang ular tersbut agar mendapat berkah. Saya penasaran untuk melihat dan akhirnya bisa menyentuh ular sakti tersebut, hanya saja saya tidak mengharap berkah dengan menyentuhnya. Saya hanya berharap agar ular tersebut tidak mematuk tangan saya ketika menyentuhnya.

Image

Epilog

Kunjungan ke Pulau Dewata membuat saya terkesan dengan keramahan masyarakat Bali. Saya terkesan dengan cara masyarakat Bali mempraktikan ajaran agamanya. Mereka tidak sungkan berdoa, menaruh sesajen, dan ritual-ritual keagamaan lainnya di depan umum (bahkan sebagian dipertontonkan) tanpa canggung. Mungkin inilah salah satu yang membuat turis banyak berkunjung karena praktik-praktik ritual yang jamak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

Menebus Nyawa Untuk Menyembuhkan Anak Manusia

Menebus Nyawa Untuk Menyembuhkan Anak Manusia

Di awal Ramadhan lalu, berbarengan dengan urusan pekerjaan di pedalaman Kalimantan, tepatnya di Kecamatan Jempang, saya sempat hadir dan menyaksikan upacara menyembuhkan orang sakit. Upacara yang melibatkan dua ekor kerbau, babi hutan, dan beberapa ekor ayam ini merupakan rangkaian puncak dari upacara Belian.
Kerbau diikat kuat menggunakan rotan dan di tubuhnya ditandai lingkaran putih yang merupakan area ‘penghunjaman’ pisau oleh warga. Setelah berulang kali ditusuk dan kehabisan darah akhirnya sang kerbau disembelih. Darahnya yang masih hangat ‘dicolek’ warga dan dibasuh sedikit di bagian belakang leher mereka untuk mengharap berkah. Sebagian orang malah menjejakkan kaki mereka ke genangan darah yang dipercaya mampu menyembuhkan penyakit kulit yang ada di kaki mereka. Saat malam tiba, semua orang bisa hadir di kediaman tuan rumah untuk mencicipi dan menyantap dagaing kerbau dan hewan yang sudah dipersembahkan.

Short Trip to West Sumatera

Mei silam saya berdinas di Musi Rawas di Sumsel. Kebetulan di akhir pekan bertemu dengan Sabtu yang merupakan hari libur nasional. Untuk memanfaatkan waktu akhir pekan, saya dan kedua teman kantor akhirnya memutuskan untuk menuju Sumatera Barat dengan tujuan utama Bukit Tinggi. Adapun rute yang ditempuh yaitu Musi Rawas ke Linggau dilanjutkan dengan bus malam dari Linggau menuju Padang.

Jam Gadang - Icon Kota Bukittinggi, kota sejuk nan penuh kuliner lezat
Jam Gadang – Icon Kota Bukittinggi, kota sejuk nan penuh kuliner lezat
Lobang Jepang
Lobang Jepang – Monumen peninggalan tentara Jepang yang berfungsi sebagai objek pertahanan di masa penjajahan.
Ngarai SIanok
Ngarai SIanok – Objek bentang lahan yang paling kesohor di Kota Bukittinggi. Objek ini berlokasi tak jauh dari Lobang Jepang.

Bertepatan dengan libur panjang akhir pekan memang akhirnya membuat kami merasakan macetnya perjalanan dari Padang menuju Bukittinggi. Namun itu semua terbayar sesampainya di sana. Lain kali berkunjung ke sana harus dipertimbangkan untuk mengunjungi objek Malin Kundang, Makam dan Jembatan Siti Nurbaya, pantai di pesisir Padang dan Mentawai!

Trip Aceh #2

“Jika sedang jenuh dan jengah, keluarlah dari rutinitas sesekali.

Hiruplah udara kebebasan sebagai manusia merdeka.”

Tetiba saja kalimat di atas terlintas di pikiran saat hendak menuliskan catatan perjalanan ini. Malam semakin larut dan saya pun mengetik huruf demi huruf diiringi lantunan campursari Manthous dan Cah Poerdjo. Suara khas gamelan Jawa membuat pikiran saya sekejap melayang menembus batas menuju Pulau Jawa seakan terbang dan tetiba kembali jatuh ke bumi saat lagu Castol yang berputar di mp3 player. Akhirnya jadilah saya senyum-senyum sendiri karena lirik yang dibawakan Tani Maju berisi sesuatu yang lucu dan tidak jelas, hahaha. Walhasil jadi tersadar dan kembali menulis dengan seriusnya.

Saya terpikir juga untuk tidak menuliskan catatan perjalanan ini dalam bentuk kronologis. Jika mendengar kata kronologis, pasti pikiran saya terbayang ke zaman perkuliahan geologi dasar dimana metode ‘Chronologies’ menjadi salah satu cara untuk melihat kelogisan benar tidaknya suatu peristiwa kebumian di masa lalu relatif terhadap peristiwa lainnya berdasarkan bukti dan data tertinggal yang masih membekas. Namun, akhirnya daripada meributkan dengan metode penulisan saya berkesimpulan dan memutuskan untuk menuliskannya secara bebas tapi sopan.

Target kami selama sehari penuh di hari ke-2 di Pulau Weh yaitu pantai, pantai, dan pantai. Malam hari sebelumnya kami sudah membooking dua sepeda motor matic untuk kami gunakan sebagai sarana berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Satu unit sepeda motor bisa disewa dengan harga 80 ribu sehari penuh dari pagi hingga malam. Tidak perlu susah untuk mencari tempat penyewaan karena hampir di tiap penginapan tersedia sepeda motor yang bisa disewa oleh pengunjung. Saya pribadi menyarankan untuk menggunakan moda transportasi ini karena bisa lebih bebas untuk menjelajahi ujung-ujung pulau sesuka hati.

Pantai Gapang

Pantai Gapang
Pantai Gapang

Pantai Gapang menjadi tujuan pertama kami di Hari Jumat pagi. Sekitar pukul jam 9.30 tiba dan suasana pantai tersebut jempling. Deburan ombak menyapu pinggiran pantai. Suara deburan terdengar sangat jelas. Seketika saya berada di dunia lain. Hanya terlihat seorang anak penjaga warung di dekat pantai. Tidak terlihat wisatawan seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Saya merasa ada sesuatu ganjil telah terjadi. Sejenak kami memesan kopi dan snack sambil ditemani suara deburan ombak dan akhirnya bertanya kepada si penjual kopi mengapa Pantai Gapang -yang banyak muncul ketika saya browsing lokasi wisata di Google- kok malah sepi adem ayem tentrem kerto raharjo. Singkat cerita akhirnya terkuak sudah akhirnya mengapa Pantai Gapang sedang adem ayem tentrem kerto raharjo. Ternyata terdapat aturan tidak tertulis di Hari Jumat yang melarang segala aktivitas di pantai hingga selesai ditunaikannya solat Jumat. Akhirnya solatlah kami di masjid besar terdekat. Kemudian sesuatu yang ganjil terjadi setelah rukun salam kami tunaikan di rakaat terakhir. Ada seorang makmum yang kembali iqamah dan serentak jamaah di beberapa barisan depan kembali berdiri dan kembali solat! Kami sekonyong-konyong keluar dari masjid dan langsung meluncur menuju Pantai Iboih. Sampai saat ini, saya sebenarnya masih bingung dengan kejadian solat Jumat tersebut dan terdapat sedikit penyesalan karena tidak bertanya kepada penduduk sekitar.

Pantai Iboih

Pantai Iboih (doc JH)
Pantai Iboih (doc JH)

Tak jauh dari Pantai Gapang ke arah Barat Laut terdapat sebuah pantai yang digadang-gadang sebagai pantai terbaiknya yang ada di Pulau Weh yaitu Pantai Iboih (penduduk setempat mengejanya Iboh). Dan memang benar di sini memiliki pemandangan indah apalagi yang terdapat di bawah permukaan air lautnya. Sesampainya di sana kami langsung menuju tempat penyewaan alat snorkel seperti pelampung, kacamata, serta fin seharga 40 ribu per satu unit. Tak lengkap rasanya apabila berkunjung ke Iboih bila tidak menyeberang ke Pulau Rubiah. Pulau mungil nan sepi tersebut merupakan salah satu daya tarik apabila kita berkunjung ke sana.

Harga sewa boat untuk pulang pergi yaitu 150 ribu dengan jumlah penumpang mulai 3 hingga 11 orang. Apabila ingin menyewa boat untuk keliling pulau pun ada, bahkan kapal dengan lantai kaca pun ada untuk menikmati suasana bawah laut di Pantai Iboih. Oh ya apabila ada yang senang menyelam, tersedia juga penyewaan alat selam berikut instrukturnya.  Hanya saja untuk diving saya tidak sempat bertanya tentang harga yang ditawarkan oleh penyedia.

Anjungan di Pantai Iboih, lengkap dengan kedainya (doc JH)
Anjungan di Pantai Iboih, lengkap dengan kedainya (doc JH)

Snorkeling

Hampir kebanyakan pengunjung pasti akan menyempatkan diri merasakan ber-snorkeling ria di pantai Iboih atau Pulau Rubiah. Begitu juga dengan kami. Tanpa perlu berenang jauh dari garis pantai Pulau Rubiah, kita sudah disajikan oleh pemandangan laut yang luar biasa. Terumbu karang berwarna warni tetiba berada di hadapan kita secara langsung. Tampak ikan-ikan berwarna biru terang (temannya Nemo) berenang hilir mudik. Saya pun bahkan melihat langsung kuda laut yang berada di dasar laut. Di satu kesempatan terlihat kerang berwarna kemerahan yang apabila kita dekatkan tangan kita kepadanya mulut sang kerang pun bergerak merespon dengan lucunya. Benar-benar mengasyikkan hingga tanpa sadar kepala saya pernah menabrak karang yang memang tingginya mencapai permukaan air. Hampir tiga jam kami menghabiskan untuk menikmati keindahan bawah laut Iboih juga yang berada di sisi Timur Pulau Rubiah. Hanya saja di bagian Timur pemandangan bawah lautnya tidak sebagus di selat Iboih. Justru saya banyak melihat bulu babi yang bertebaran laiknya ranjau laut.

Kenampakan Pantai Iboih
Kenampakan Pantai Iboih

Saya bersyukur sudah mengunjungi Pulau Weh. Sebenarnya masih banyak objek wisata yang belum sempat untuk dikunjungi. Mengingat keterbatasan waktu, mau tidak mau harus diakhirkan berpelesir di Pulau Weh. Apalagi jika mengingat pulang di Hari Minggu akan lebih sulit mendapatkan karcis kapal menuju Ulee Lheue dari Balohan dibandingkan di Hari Sabtu. Tulisan selanjutnya akan banyak bercerita hasil kunjungan ke Kota yang pernah diluluhlantakkan oleh bencana tsunami 2004 silam, yakni Banda Aceh.

~bersambung…

 

 

 

Trip to Aceh #1

Sebagai kelanjutan dari blog saya sebelumnya mengenai catatan perjalanan ke Aceh, maka pada kesempatan kali ini saya akan menceritakan mulai dari kedatangan saya di Banda Aceh hingga kunjungan perdana saya ke Pulau Weh. Silakan dibaca dan mudah-mudahan tulisan ringan ini bermanfaat untuk pembaca budiman yang akan berjalan-jalan ke Aceh.

Setelah melalui perjalanan darat selama 12 jam melalui jalur darat dari Medan akhirnya kami sampai di Terminal Batoh yang merupakan terminat bus antar kota di Banda Aceh. Jarum jam menunjukkan pukul 6 pagi dan masing-masing dari kami langsung memesan sepiring lontong sebagai ransum sarapan pertama setibanya di Tanah Rencong. Sekonyong-konyong seorang bapak tua akhirnya bergabung bersama kami untuk menikmati sarapan dan belakangan saya baru tahu jika beliau adalah seorang supir taksi. Setelah melakukan negosiasi akhirnya kami bertiga sepakat untuk memakai jasa si bapak tua untuk membawa kami menggunakan taksinya menuju Pelabuhan Ulee Lheue. Sebenarnya selain taksi terdapat juga para pengemudi bentor yang menawarkan jasanya dan Tuhan menakdirkan si bapak tua yang kebagian rezeki. Kami menaiki taksi miliknya yang tua (merk mobilnya lupa) dan bagian bumper belakangnya ringsek namun bertransmisi otomatik.

Tak terasa perjalanan menuju pelabuhan memakan waktu selama 30 menit. Kami pun membayar jasa taksi sebesar 50,000,- yang menandai kami sudah tiba di Pelabuhan Ulee Lheue untuk menyeberang menuju Pelabuhan Balohan di Weh. Pelabuhan tampak lengang. Selain kami bertiga terlihat sekelompok anak muda dan beberapa wanita dan pria paruh baya yang menunggu loket kapal dibuka. Loket kapal express KM Rondo pun dibuka, secepatnya saya mengantri untuk membeli karcis. Harga kelas ekonomi 60,000,-, kelas bisnis 75,000,-, dan untuk kelas eksekutif seharga 85,000,-.  Nah untuk CP KM Rondo bisa menghubungi Pak Isro (085261316401) untuk booking karcis walaupun sepengalaman kami nampaknya sistem booking tersebut setengah hati. Agar lebih aman sebaiknya datang saja dari pagi di pelabuhan untuk mencegah kehabisa tiket. Namun jika menyeberang di akhir pekan seperti Jumat/Sabtu sebaiknya pesan jauh-jauh hari saja. Untungnya kami menyeberang di hari kamis sehingga tidak terlalu padat.

Kapal penyeberangan ekspress KM Rondo
Kapal penyeberangan ekspress KM Rondo

Lama waktu penyeberangan ke Balohan memakan waktu 45 menit dan kami menghabiskan waktu di atas kapal dengan duduk manis sambil bercanda dengan balita imut yang duduk di kursi depan kami. Selepas turun dari kapal penyeberangan para penumpang turun secara beruntun. Sejurus kemudian tersempatkan saya melihat beningnya air laut di Pelabuhan Balohan ini sehingga dasarnya pun terlihat. Tampak ikan-ikan kecil bergerombol berenang ke sana kemari dengan riangnya. Setelah mengabadikan beberapa momen akhirnya ketenangan kami terusik oleh datangnya para pengemudi taksi. Serentak mereka menanyai setiap penumpang yang baru turun dari kapal dengan logat khas Acehnya. Kita bisa menggunakan jasa taksi yang kebanyakan mobil L300  menuju Sabang atau penginapan dengan membayar jasa mulai dari 25,000,-. Namun apabila ingin menyewa sehari penuh harga berkisar dari 400,000,- hingga 550,000,-. Untuk setengah hari kita bisa pun bisa menyewa seharga 250,000,-. Mengingat itinerary kami di hari pertama yang tidak terlalu padat akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan jasa taksi.

Menuju KM 0

Jalanan di Pulau Weh relative bagus. Hanya saja kerap tersaji jalanan naik turun mengikuti kontur perbukitan. Cuaca khas pantai pun terasa sesaat kami berada di sana. Udara panas nan lembab dengan secepat kilat membuat permukaan kulit mengeluarkan keringat lebih cepat daripada biasanya. Perjalanan banyak melewati hutan lindung yang kata warga sekitar biasanya jika melintas saat pagi hari, monyet-monyet akan bergelantungan di sisi-sisi jalan raya. Tak sampai 45 menit akhirnya mobil yang kami naiki sampai di ujung Pulau Weh. Di sinilah terdapat monument geografis sebagai penanda titik kilometer 0 di ujung Indonesia. Sudah pasti di titik ini merupakan titik ikat jaring pemetaan yang digunakan sampai saat ini.monumen titik 0 berbentuk tugu dengan tangga yang membelah bangunan dan dikelilingi oleh rimbunan pepohonan. Letak monumen ini terdapat di ujung sebuah bukit persis di pinggir pantai bertebing curam. Di bagian atas terdapat patung Sang Garuda.

Monumen Kilometer Nol
Monumen Kilometer Nol

Sambil mengabadikan beberapa foto di monument KM0, kita bisa juga menikmati pemandangan horizon Samudera Hindia yang luas. Tak jauh dari monument pun kita bisa bersantai sambil menikmati kelapa muda dan cemilan khas Weh seperti sate kentang, sate tempe, ataupun bola ubi (nama lokalnya kebetulan belum saya ketahui). Kita pun disuguhi tingkah laku hewan liar yang kebetulan terdapat di sekitar kedai seperti monyet dan babi liar yang jinak. Monyet yang ada kadang bertingkah lucu ketika mencoba meminum cola dari botol kalengnya. Mereka pun selalu petintingan tidak bisa diam dengan cara memakan makanan atau bermain bersama dengan kelompoknya. Satu hewan liar unik yang selalu berkunjung ke monumen KM 0 ini yaitu si babi liar yang jinak dan baik hati. Walaupun rupanya cukup menyeramkan, namun menurut pedagang yang biasa berjualan di situ si babi tidak pernah mengganggu apalagi menyeruduk atau ngepet. Si babi hanya berjalan dengan tenang sesekali mendekati keramaian kemudian berdiam dan kembali lagi ke hutan sekitarnya. Sepertinya dia sudah akrab dengan kunjungan wisatawan yang ramai ke monument tersebut. Apabila ada wisatawan yang ingin membuat sertifikat, maka kita bisa memesannya kepada pembuat sertifikat dari pemerintahan setempat hanya dengan membayar 20,000,- saja. Cukup tunggu 20 menit sertifikat yang berisi nama kita bahwa sudah pernah menjejakkan kaki di KM 0 pun bisa kita bawa pulang segera.

Hewan liar di sekitar monumen kilometer nol
Hewan liar di sekitar monumen kilometer nol

Benteng Jepang

Setelah puas menikmati pemandangan dan rasa penasaran di titik kilometer nol Pulau Weh kami pun melanjutkan perjalanan untuk menuju Benteng Jepang. Perjalanan dari KM 0 memakan waktu selama sekitar 40 menit untuk menuju Benteng Jepang. Letak Benteng Jepang ini berada di pinggir pantai yang bertebing. Walaupun landmark ini merupakan peninggalan sejarah saya tidak menemukan adanya papan informasi yang menerangkan tentang benteng tersebut seperti misalnya kapan dibangun, fungsi benteng, dan siapa arsiteknya. Menurut pengamatan saya, benteng tersebut hanya merupakan bangunan pengintai musuh dan bukan murni benteng untuk pertahanan. Apabila biasanya pada benteng pertahanan terdapat koridor laiknya tembok cina yang memanjang membentuk perimeter dan terdapat meriam di tiap bagiannya, maka saya tidak menemukannya pada benteng jepang ini. Mungkin saja karena sudah tergerus waktu dan perubahan di sana-sini sehingga bangunan aslinya kurang tampak mencolok mata. Selain bangunan benteng kita hanya bisa menemukan meriam yang terdapat di lorong dalam utama bagian benteng.

Japanese Fortress
Japanese Fortress

Selepas mengunjungi Benteng Jepang kami langsung menuju penginapan di Ujung Karang untuk beristirahat. Penginapan yang kami tempati ternyata dimiliki oleh seorang pengusaha bule. Bangunan terbuat mayoritas dari kayu dan cukup nyaman karena tidak terlalu panas. Harganya pun cukup terjangkau yaitu 200,000,- permalam yang bisa ditempati sampai delapan orang. Pemandangan dari penginapan menghadap langsung ke pantai yang berkarang (sesuai namanya Ujung Karang).

Lokasi penginapan dan pantai Ujung Karang
Lokasi penginapan dan pantai Ujung Karang

~bersambung…

Trip to Aceh – Prolog

Setelah tidak kesampaian untuk menuliskan beberapa ide di blog beberapa bulan terakhir, akhirnya sampai juga momentum untuk menuliskan satu tulisan saat ini. Mumpung masih hangat karena baru melaluinya beberapa hari yang lalu. Yup, mulai posting-an ini dan beberapa posting-an ke depannya saya akan menuliskan catatan perjalanan (bahasa gaul zaman sekarangnya ngebackpaking) saya selama tiga hari ke Tanah Rencong alias Nanggroe Aceh Darussalam. Mudah-mudahan beberapa catatan di bawah akan berguna untuk pembaca sekalian. Siapa tahu beberapa informasi yang ada bisa dipakai untuk jalan-jalan kelak ketika mengunjungi Aceh.

Rencana saya dan beberapa kawan untuk mengunjungi Aceh bisa dibilang dadakan karena memang tidak direncanakan sangat matang. Persiapan kami tak lebih dari 10 hari menjelang hari keberangkatan. Kami memutuskan untuk menggunakan moda transportasi darat dari Medan menuju Banda Aceh dan pulangnya menggunakan moda transportasi udara. Pilihan otobus dari Medan menuju Banda Aceh jatuh kepada PO PMTOH super executive jet bus. Pilihan ini diputuskan setelah mencari informasi dari internet terutama milis bismania serta obrolan ke beberapa orang. Untuk keefisienan waktu, sebaiknya pilih saja yang non stop. Harga tiketnya 200,000 ,- sedangkan untuk yang kelas patas executive harga tiket berada di kisaran 140,000,-. Keberangkatan bus pada malam hari (makanya disebut bus malam :D) jam 21.00.

Interior PMTOH Jet Bus Medan - Bd Aceh (AK)
Interior PMTOH Jet Bus Medan – Bd Aceh (AK)

Singkat cerita, jam 21.00 kami berangkat dari Medan. Bus pun melaju dengan mulusnya. Karena kondisi lalu lintas yang lumayan ramai, bus melaju dengan kecepatan sedang sampai Binjai. Namun, selepas dari Binjai bus mulai melakukan pertambahan kecepatan. Percepatan pun bertambah. Tak pelak, bus melalui kelokan-kelokan jalan dan dahsyatnya suspensi bus pun mulai terasa. Saat melalui jalan yang sedikit bergelombang (gojlagan) ataupun manuver menyalip, goncangan terasa sangat lembut. Walhasil saya pun terngiang-ngiang pengalaman salah seorang blogger yang juga menyatakan bahwa PMTOH super executive Medan ke Banda Aceh sangat memuaskan kesannya.

Praktis berhubung perjalanan dilakukan pada malam hari, tidak banyak pemandangan yang bisa dilihat. Saya hanya bisa melihat dari plang-plang kantor untuk mengetahui sudah sampai mana bus melaju. Kondisi jalan yang dilewati untuk sampai Banda Aceh relatif sangat bagus dan mulus-mulus tanpa halangan berarti. Apalagi perjalanan malam hari yang memang cukup sepi lalu lintasnya. Namun ada beberapa lokasi yang cukup menyentil perhatian saya selama perjalanan. Saat bus kami melintasi Kabupaten Aceh Tamiang tepatnya di Kuala Simpang, bus melewati tikungan sangat tajam sehingga berbeloknya bus sangat terasa bagi saya. Sejenak pikiran saya pun melayang ke Cianjur, dimana ada tikungan serupa (biasa disebut pengkolan tapal kuda) yang merupakan perlintasan jalur Puncak – Bandung.

Tepat pukul enam pagi akhirnya bus sampai di Terminal Batoh, Kota Banda Aceh setelah setengah jam sebelumnya bus sempat merapat ke salah satu masjid untuk melaksanakan solat Subuh. Tanpa piker panjang kami langsung menuju kantin terminal dan memesan lontong sayur sebagai santap sarapan ditambah segelas teh panas. Sekilas saya melihat ada beberapa bapak-bapak yang sedang bercengkrama dengan koleganya sambil menyeruput kopi. Ya, akhirnya saya pun tersadar saya sudah menginjakkan kaki di Tanah Rencong, negerinya kedae kupi.

~bersambung…

Ps: Rute jalur darat à Medan – Binjai – Stabat – Pangkalanbrandan – Kuala Simpang – Langsa – Peureulak – Lhoksukon – Lhokseumawe – Bireun – Sigli – Banda Aceh