Memoar Bus Malam

Berbicara mengenai alat transportasi, bus malam merupakan salah satu favorit saya. Mengapa? Hal ini karena saat kecil, terutama saat SD dan SMP hampir tiap Lebaran tiba kami sekeluarga menyempatkan untuk merayakannya di kampung halaman ibu saya di Purworejo. Nah, hampir setiap tahun pula bus malam menjadi angkutan andalan kami sekeluarga menuju Purworejo.

Saat SD dan SMP, hampir tidak ada bus malam AC yang melintasi Purworejo. Kalaupun ada yaitu bus malam Jogja via Magelang. Jadi jika mau menuju Purworejo harus transit dahulu di Magelang baru kemudian menyambung angkutan ke Purworejo. Namun karena alasan kepraktisan, kami lebih sering untuk menggunakan bus malam non AC. Bus malam AC yang melewati Purworejo baru ada saat saya menginjak SMA, namun saat ini malah sudah jarang untuk pulang kampung lagi ke Purworejo. Bus malam yang sering dinaiki kami sekeluarga yaitu Lima* Express. Berangkat dari Bogor sekitar jam dua siang dan sampai di Purworejo pasti jam empat pagi. Pastinya, saya sangat menikmati perjalanan tersebut bahkan menjadi pengamat bus malam AKAP di sepanjang perlintasan perjalanan. Saya dan kakak saya bahkan menjadikan nama PO bus malam menjadi tandingan tebak-tebakan menjelang tidur. Sangat sering kami memainkannya dan kami menyebutnya permainan “bis-bisan”. Sebenarnya permainannya simpel yaitu hanya menyebutkan nama bus malam secara bergantian. Nah, saat salah satu dari kami tidak bisa menjawabnya saat itulah dia kalah.

Limas

Saking terobsesinya dengan bus malam bahkan saat pelajaran menggambar ketika SD saya sudah pasti bertemakan bus malam, lengkap dengan nama Perusahaan Otobusnya. Jika kawan-kawan saya selalu menggambar pemandangan (dua gunung, matahari di tengah, dibelah jalan, ada persawahan) yang jamak kita temui bahkan hingga anak SD zaman sekarang, saya sudah pasti menggambar bus malam. Entah kenapa saya lebih menyenangi menaiki bus dibandingkan kereta api atau bahkan pesawat terbang sekalipun. Saya senang ketika melewati pergantian hari di dalam bus malam. Menikmati fajar atau mega merah dari dalam bus malam. Saya selalu terperangah saat suara desisan rem bus yang selalu mendesis ataupun saat suara deru mesin intercooler yang berteriak. Untuk rute kampung halaman bapak saya di Probolinggo seringnya kami menggunakan Loren* atau Pahala Kencan*.

Perjalanan jauh terakhir yang saya rasakan menggunakan bus malam yaitu saat kuliah lapang terakhir angkatan kami menuju Bintuhan di Bengkulu dari Depok. Lama perjalanannya sekitar 27 jam, sudah termasuk melintasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan serta jalan kaki di tanjakan daerah Liwa karena bus tak kuasa untuk melaju dengan beban penumpang penuh. Rute perjalanan sangat menantang mengingat yang dilintasi adalah deretan Bukit Barisan. Namun pemandangan yang tersaji sangat indah terutama hamparan pasir putihnya. Saya teringat ketika menjadi tim advance untuk kegiatan ini. Saat perjalanan survey pendahuluan bus kami sempat terjebak di tengah hutan jam 12 malam karena mengalami masalah di ban belakang. Walhasil dari jam 12 malam sampai jam 6 pagi, tidak ada seorang pun yang berani turun dari bus karena takut akan binatang liar. Sang kernet pun akhirnya memperbaiki ban bus saat pagi tiba.

Mulai SMA hingga kuliah, intensitas pulang kampung ke Jawa Tengah maupun Jawa Timur sudah berkurang, tidak sesering SD atau SMP. Moda transportasi yang dipakai pun selain bus malam yaitu kereta api. Nah, sekarang karena saya sementara berdomisili di Simalungun sebenarnya ingin lagi merasakan sensasi naik bus malam. Hanya saja sangat sulit mencari waktu yang pas mengingat hari kerja yang padat dan cuti yang terbatas. Rute yang ingin dicoba yaitu rute Medan – Banda Aceh, Medan – Padang, atau Medan – Jakarta. Dari ketiga rute tersebut yang paling realistis yaitu Medan – Banda Aceh, hanya tinggal mencari momentum waktu yang pas saja untuk dieksekusi. Selain itu rute Medan – Jakarta menggunakan kapal laut pun sepertinya harus dirasakan mengingat serunya melintasi perjalanan laut. Perjalanan laut terpanjang yang pernah dirasakan hanya sekitar 5 jam, dari Sekupang menuju Lingga di Kepulauan Riau. Untuk rute Selat Sunda, tidak terlalu lama, hanya 2 jam. Nah, Untuk rute Medan – Jakarta kurang lebih akan memakan waktu 3 hari sehingga jadi lebih penasaran saja menggunakan moda tersebut.

Makan Siang | #CeritaSurvey |

Tempat nangkring makan siang

Mau tidak mau berkecimpung dalam bidang mapping pasti akan merasakan kerja lapangan. Kerja lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data sebagai bahan untuk analisis lanjutan. Ndilalah bulan ini saya mendapat tugas dari kantor untuk melakukan survey area di Kabupaten Banyuwangi.

Tidak berbeda dengan survey lapangan yang pernah saya lakukan ketika kuliah, aktivitas tak lepas dari tracking dengan cara berjalan menggunakan kaki sendiri (so pasti). Pada intinya ya standar survey lah sesuai dengan kondisi di lapangan.

Namun, dalam melakukan survey lapangan salah satu kenikmatan yang bisa dirasakan yaitu berkesempatan menyantap makan siang. Makan siang di lapangan bukan sembarang makan siang karena ada suatu kenimatan tersendiri ketika merasakan setiap makanan yang masuk ke kerongkongan. Dan hal ini bukan suatu kebohongan publik karena saya yakin jika dilakukan survey untuk seluruh orang lapangan dan diwawancara bagaimana nikmatnya santap makan di rumah dan lapangan pasti rate nikmat menyantap makanan di lapangan akan jauh melampaui dibandingkan santap makan di rumah. Apalagi ditambah view yang aduhai enak dipandang maka tingkat kenikmatannya pasti akan berlipat-lipat. Foto di atas saya ambil ketika melakukan survey di pedalaman Glenmore.Gazebo kayu yang terlihat di atas merupakan tempat saya menyantap makan siang di lapangan. Dengan lauk seadanya ditambah nangkring di gazebo tengah hutan saat makanan masuk kerongkongan amat sangat nikmat rasanya tak terperikan.

Menu makan siang di tengah alas

#glenmore07072012

The Utilization of Remotely Sensed Data for Plantation

During the recent decade, the use of data taken from remote sensing has been widely developed for many aspects in plantation. Begin with the application for mapped the field and plantation until the use of multi/hyperspectral censors for further application. The development of remote sensing application in plantation, generally agriculture, encourage the multi-disciplinary related science which later known as Precision Agriculture.

In precision agriculture, intervention of ge0-related science such as Geography, Geodesy, GIS and Agricultural science like Agronomy, Crop Protection, Plant Breeding are clearly visible in actual application. From various articles and journals related to precision agriculture that I have read, mostly the themes of them are related to the utilization of data from remote sensing. Due to its practicability and easiness of temporal acquisition, remote sensing data also show the accurate and precise result for identify and give the solution for agricultural problems.

Oil palm plantation play major role important in economic aspect in Indonesia. As the second largest (cmiiw) exporter of crude palm oil in the world, it is not surprising if there are a lot of plantation which owned by government or private. There are also many seed producer which have best quality such as SumBio, PPKS, etc.  The most important also, many of the plantation company in Indonesia which have utilized GIS as a decision support tools, mostly used for mapping their estate and for research purpose.

Using satellite imagery is one of various methods to get the spatial data, for example for mapping the estate. We can easily digitize the feature like main road, block road, field boundary, river, and many more. Estate mapping is essential for getting the basic data from remote sensing data. Besides, ground checking is also needed for taking the data which we could not get from satellite imagery such as if the area covered with cloud or its shadow. So, the combination source of data taken both from remote sensing and ground checking will improve the accurate and precise measurement.

Recent mapping related to oil palm plantation has a significantly shifting from only estate mapping to more detail mapping. As oil palm trees are valuable asset of the company, it is necessary for monitoring them individually. It has been done in oil palm company to monitor individual palm especially for research purposes which are related to pathology or daily census trees. Therefore, the same of how the data should be taken which previously described in the paragraph before, is absolutely can be applied. But because each of individual palm tree has absolute location, which represent in center point of its tree, it is better to use differential GPS receiver if the data taken from ground checking. Why this should be done? It is precision matter. Data with no differential post-processing have less accuration than using post-processing calculation.

Palm points classification from satellite imagery

Further development by multispectral bands or hyperspectral bands made the application of remote sensing in agriculture valuable. Recent research shows that there are corelation between near-infrared bands in multispectral with the leaf nutrients like nitrogen, magnesium, phosphorus, and sulfur so that with remote sensing data we can detecting and make prediction for nutrients management such as fertilizer recommendation and nutrients deficiency management. It also can be applied in pathology since Ganoderma became the major problems in every oil palm plantation in Indonesia. The oil palm trees which suffered from Ganoderma show stress on their leaves so we can detect the spread of oil palm trees  by using the vegetation index such as NDVI, GBNDVI, SR, etc.

#bahlias12012012

 

Postingan Pertama di 2012 :)

Kembang api
Kembang api

Akhirnya malam pergantian tahun telah lewat dan resmi mulai hari ini kita sudah hidup di masa tahun 2012. Sudah pasti banyak orang yang merayakannya dengan suka cita. Saya teringat dengan perayaan tahun baru pada tahun-tahun sebelumnya di Bogor, di mana pasti terjadi kemacetan yang tak terkira. Banyak orang yang menuju kawasan Puncak untuk sekedar menikmati hawa sejuk pegunungan. Akibatnya, Jalan Raya Tajur sebagai poros utama jalur menuju Puncak, selain Tol Jagorawi, walhasil tumpah ruah oleh berbagai kendaraan bermotor terutama yang beroda dua. Pernah sekali waktu saya akhirnya memutuskan untuk turun dari angkot dan berjalan kaki dari Biotrop sampai rumah karena jalan benar-benar ‘stuck in jam’, tersumbat sama sekali sehingga tidak ada yang bisa berjalan. Diantara sekian sebab itulah, selama ini saya memang tidak pernah mengagendakan acara khusus untuk tahun baru.

Tahun baru ini memang berbeda dengan sebelumnya. Yang pasti, ketika terjadi penggantian tahun tadi malam lokasi saya berbeda dengan lokasi yang saya tempati pada pergantian tahun pada tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya saya berada di sekitar lintang 6 dan bujur 106, maka saat ini saya berada di sekitar lintang 3 dan bujur 99. Hampir tidak ada bedanya perayaan tahun di mana pun. Suara terompet, petasan, dan kembang api seakan menjadi rukun tahun baru yang dilangsungkan di berbagai belahan dunia manapun.

Hampir sama dengan pergantian tahun-tahun sebelumnya, saya memang tidak punya agenda khusus untuk merayakan. Hanya berada di kamar mes dan bergumul dengan laptop yang terkoneksi dengan dunia maya. Tadinya saya sudah akan menyelesaikan beberapa pekerjaan di malam tahun baru dan sayangnya takdir berkata lain. Jam 8 malam, ternyata sudah tertidur lelap dan hanya sesekali bangun ketika jam 12 malam, saat terdengar petasan dan suara terompet, selebihnya melanjutkan tidur yang sungguh terasa nikmat.

Dunia ‘social media’ sudah pasti statusnya bertemakan tahun baru. Kita bisa membaca berbagai ungkapan, harapan, dan doa dari teman-teman kita yang rajin mengupdate statusnya baik di facebook, twitter, plurk, dan sederet lainnya. Ada juga yang statusnya menarik perhatian saya karena amat menggugah. Seorang kawan yang solih mengupdate statusnya yang kurang lebih berisi seperti ini, “Tidur terbangun akan bisingnya suara gegap gempita kembang api. Dahsyat. Mirip Gaza kala dibombardir Zionis saja”. Saya cukup tersentak karena sungguh mengingatkan akan kondisi saudara-saudara kita di Gaza. Jika kita merayakan tahun baru dengan suka ria di sini dan di kota besar dengan suara kembang api yang gegap gempita, maka mungkin bagi saudara kita di Gaza suara-suara tersebut adalah hal yang biasa di tiap-tiap malam mereka, bahkan mungkin bersuasana mencengkam. Sungguh, mudah-mudahan saya menjadi lebih bersyukur dengan kondisi yang saya alami sekarang dan tidak termasuk orang-orang yang mmeubazirkan hartanya untuk sesuatu yang tidak begitu perlu. Tahun baru bukan saja untuk perayaan baru, tetapi juga bagaimana kita membentuk mental yang lebih baru.

Sumber Gambar di sini

#bahlias01012012

Pemetaan

Peta adalah senjata. Senjata untuk melakukan penaklukan dan penjajahan suatu Negara. Hal ini sudah terbukti pada masa lampau, bahkan mungkin berlanjut sampai sekarang, dimana dengan bermodalkan peta kolonialisme merajalela di berbagai belahan dunia yang dipelopori oleh Negara-negara Barat. Saking sakti mandragunanya sebuah peta, bangsa Eropa mampu menjelajahi lautan untuk menaklukan Afrika, India, Nusantara, bahkan hingga Polinesia. Tak kurang dari sumber daya alamnya hingga sumber daya manusia disedot sampai habis untuk memuaskan nafsu menjajah para imperialis. Peta memainkan peranan penting pada masa itu sehingga bisa dikatakan peta Nusantara saat itu layaknya peta harta karun yang bisa memperkaya diri Negara penjajah.

Saat ini, peta bisa didapatkan dimana saja. Bahkan hanya dengan bermodalkan komputer dan koneksi internet, informasi permukaan bumi demikian mudahnya didapatkan. Makna peta sebagai senjata kolonialisme pun sudah sedikit bergeser karena kemudahan akses untuk mendapatkan data peta. Saat ini disamping sebagai alat untuk monitoring sumberdaya alam, peta digunakan juga sebagai senjata bagi para ilmuwan yang berkecimpung di bidang geospasial.

Pemetaan dulu dan kini

Teknologi pemetaan yang ada dahulu amat berbeda dengan yang ada pada masa kini. Jika kita beranjak keluar dari masa Idrisi dan Gerardus Mercator (pada masa dimana alat ukur teodolit sudah ada), maka akan terlihat perbedaan mencolok antara keduanya. Dahulu, dengan menggunakan teodolit, sorang juru ukur melakukan pengukuran suatu area dengan terjun langsung menembus belantara yang ganas sehingga untuk menghasilkan peta memerlukan waktu yang cukup lama. Belanda yang dahulu pernah menjajah Negara kita adalah sedikit dari salah satu para jago dalam hal teknologi pemetaan pada saat itu. Kita pun beruntung karena peninggalan titik kontrol peta masih ada dan bahkan dipakai juga oleh kita hingga kini.

Selain melakukan pengukuran triangulasi dari titik-titik kontrol yang sudah ditentukan, para juru ukur juga harus melakukan pemetaan garis kontur, toponimi, jalan, sungai, serta kondisi permukiman pada saat itu. Tak terbayang juga berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan selembar peta yang sudah jadi. Sehingga tak heran jika peta yang dihasilkan adalah informasi yang sangat berharga karena memuat informasi keadaan alam yang ada pada saat itu.

Saat ini dengan berkembangnya teknologi pemetaan seperti GPS tentunya mempercepat proses dalam proses pembuatan peta dengan ketelitian yang tak jauh beda jika dikerjakan dengan cara manual. Teknik pemetaan pun beralih, dari teknologi intip-intip melalui teodolit menuju teknologi pencet-pencet melalu alat GPS. Saat ini teknologi GPS untuk keperliuan navigasi sudah menghasilkan ketelitian hingga 5 meter sedangkan untuk geodetic bahkan mencapai tingkat ketelitian hingga sentimeter. Konon, sistem GPS militer milik Amerika sudah memiliki tingkat ketelitian hingga millimeter namun tertutup dan rahasia.

Sistem dulu dan sekarang

 

Antara pemetaan dahulu dan sekarang, sama-sama memuat informasi geografis. Yang membedakan adalah sistemnya. Dahulu data-data peta disimpan secara manual hingga berlembar-lembar banyaknya. Selain memenuhi ruangan, lembaran peta pun berpotensi rusak karena pengaruh cuaca atau lapuk karena umur. Berbeda dengan saat ini dimana informasi peta disimpan dalam format digital atau terkomputerisasi. Jika kita melakukan perbandingan waktu untuk melakukan reproduksi peta masa lalu dengan masa kini maka akan didapat perbedaan waktu yang signifikan prosesnya. Produksi peta yang sudah tersimpat dalam sistem komputer akan memungkinkan reproduksi dan manipulasi peta berjalan jauh lebih cepat dibandingkan dengan cara manual.

 

Sistem Informasi Geografis (SIG) atau GIS (Geographical Information System) inilah yang menjadi basis sistem dalam pengelolaan data geografis yang mencakup penyimpanan, pengolahan, manipulasi, dan pengeluaran dalam bentuk peta yang tersusun dalam sistem berbasis komputer. Saat ini teknologi GIS yang juga kerap disandingkan bersamaan dengan Remote Sensing, amat pesat perkembangannya antara lain karena sifatnya yang multi guna di berbagai bidang (multisiplin). GIS bisa menjamah bidang-bidang seperti militer, pertanian, kehutanan, kependudukan, perkebunan, arkeologi, kesehatan, dan masih banyak lagi bidang yang lain.

#bahlias13112011

 

 

“Alangkah Lucunya Negeri Ini”

Negeri ini memang ironi. Ya, itulah yang bisa dilihat dari film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”. Baru saja saya menonton film ini walaupun sudah tampil di layar lebar mungkin satu atau dua tahun yang lalu. Kebiasaan tidak menonton di bioskop selama mahasiswa banyak sedikit mengurangi pengetahun akan film-film yang sedang beredar. namun bukan berarti tidak menonton sama sekali, kebanyakan hanya menonton di depan layar monitor komputer dari film-film yang diunduh oleh kawan-kawan saya.

Potret pengangguran terdidik sebagai gambaran di negeri ini, ditampilkan pada awal film diputar. Sang tokoh utama, Muluk, yang merupakan sarjana manajemen tampak kesulitan mencari pekerjaan. Ironi, karena di satu sisi pemerintah menggalakkan pendidikan, namun ternyata mencari bekerja setelah lulus pun malah sulit. Muluk pun kemudian akhirnya bertemu dengan anak jalanan yang berprofesi sebagai pencopet. Tampak dari setting film, mengambil latar Pasar Asemka yang tidak jauh Stasiun Beos. Singkat cerita, karena tidak kunjung mendapat pekerjaan akhirnya Muluk pun bertemu dengan bos si pencopet untuk mengajukan proposal kerja sama.

Karena terenyuh melihat kehidupan para pencopet cilik yang semrawut, Muluk tergerak untuk melakukan kerja sama dengan mereka dari hasil copet sehari-hari. Muluk berencana untuk memutar uang yang ada agar suatu saat mata pencaharian para pencopet cilik tidak melulu mengandalkan dari hasil mencuri. Muluk menginginkan memutar uang mereka untuk dijadikan lahan usaha yang tetap dan bertahap mulai dari mengasong, membuka ruko, hingga memperluas usahanya.

Lambat laun dan sedikit demi sedikit para pencopet mulai tergerak untuk berubah. Tak hanya memutar uang hasil copet mereka, Muluk pun membekali juga dengan pendidikan sehingga mengajak dua tetangganya yang sama-sama berpendidikan tinggi untuk mengajar di lingkungan pencopet  tersebut. Pelajaran membaca, kebersihan, Pancasila, serta agama pun diberikan oleh Muluk dan kawannya.

Orang tua Muluk pun lambat laun tahu bahwa hasil uang yang didapatkan anaknya, Muluk, dari hasil copet para pencopet cilik. Ayahnya kecewa karena selama ini anaknya mendapatkan uang dari hasil copet yang merupakan hasil yang haram. Muluk dan kawannya pun akhirnya memutuskan untuk berhenti mengelola sekolah pencopet setelah berhasil memodali para pencopet dengan enam buah kotak asong.

Karena negeri ini memang penuh dengan ironi, di akhir film disajikan drama lucunya negeri ini. Para pencopet yang akhirnya ‘insaf’ dan memilih untuk berdagangan asongan akhirnya dikejar-kejar oleh Satpol PP.  Adapun kawan-kawan pencopet yang belum insaf dan tetap mencopet di jalanan, juga dikejar-kejar oleh massa yang beringas. Memang sungguh ironi, mencari nafkah secara halal tidak aman, apalagi mencari nafkah yang tidak halal. Benar-benar lucu negeri ini.

Menurut saya, film ini sangat sarat makna dan membuka mata kita akan realita fenomena yang terjadi di negeri kita tercinta. Masih banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menyelesaikan dan mengatasi berbagai krisis multidimensi yang membelenggu Negara kita. Tinggal tunggu peran kita sebagai orang yang berpendidikan untuk menjadi bagian solusi menyelesaikan berbagai krisis tersebut.

#bahlias231011

Merantau

Malam ini genap sudah saya menjalani malam ke-144 di tanah rantau. Jauh dari orang tua, namun lumayan dekat dengan sanak saudara. Mungkin ini yang dinamakan relativitas. Walaupun berjarak fisik jauh dengan keluarga inti, namun memiliki kedekatan jarak psikologis dengan mereka.

Ada sebuah syair menarik dari Imam Syafii, hujjatul Islam.

 

Orang berilmu dan beradab tidak diam di kampong halaman

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan

Berlelah-lelahlah manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

 

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan

Jika  mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

 

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa

Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

 

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam

Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

 

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa

Jika di dalam hutan

 

Sepintas setelah membaca, saya menarik kesimpulan hanya dalam satu kalimat. “Manusia harus berusaha”. Satu kalimat tersebut mungkin cukup mumpuni untuk mewakili berbait-bait syair dari Imam Syafii. Tak perlu dengan gagah berani ‘merantau’ ke negeri orang karena tanpa merantau –dalam artian berpindah jauh dari kampung halaman- pun orang berilmu bisa mengamalkan ilmunya. Namun bisa jadi, dengan melakukan rantau ke negeri orang, pengganti kerabat dan kawan inilah yang mungkin tidak kita dapatkan ketika ‘merantau’ tidak dalam artian berpindah tempat.

 

#bahlias191011, dalam hening malam dan gemericik hujan

Puasa yang berbeda

Alhamdulillah, tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh saya bila pada puasa tahun ini dijalani di pulau seberang. Namun karena tuntutan profesi semua harus dijalani apa adanya.

Baru pada puasa kali ini, sama sekali dari awal hingga hari ke-17, saya tidak merasakan nikmatnya bersahur dan berbuka bersama kedua orang tua dan saudara kandung di Bogor. Semua rasa rindu hanya bisa diobati dengan melakukan percakapan jarak jauh via telepon seluler saja.

Satu-satunya kesempatan laiknya bersahur dan berbuka bersama keluarga, akhirnya saya rasakan juga ketika menyambangi salah seorang bibi yang berada di Kota Medan. Setidaknya, dengan bersahur dan berbuka bersama mereka, rasa rindu untuk berbuka bersama dengan keluarga di Bogor bisa terobati.

Kebanyakan berpuasa, termasuk sahur dan berbuka, dijalani di Multihousing tercinta yang dihuni oleh 9 orang lelaki lajang dari ragam daerah di Indonesia, mayoritas berasal dari perguruan tinggi USU, UI, UGM, serta UPI. Mulai sahur sampai berbuka dijalani bersama. Sekilas, saya teringat akan kehidupan kost mahasiswa. Mungkin karena semuanya lajang jadi agak merasa tidak asing lagi dengan keseharian yang dijalani di Multihousing ini.

#bahlias17082011 (Semoga Indonesia makin Jaya! Semoga diri ini bisa Bekerja Untuk Indonesia 🙂 )

Filosofi hidup

Sumatra adalah nama sebuah pulau demikian pula dengan Jawa. Keduanya memiliki hampir kesamaan kondisi fisik dimana dari dataran rendah hingga dataran tinggi dimiliki. Yang membedakan paling hanya sekat budaya yang agak berbeda.

Fenomena menarik yang dapat ditemui mungkin di hampir seluruh Sumatra yaitu keberadaan orang Jawa. Hal ini dapat kita lihat dan buktikan sendiri ketika berkunjung ke daerah di Sumatra. Lazim kita temui orang-orang berkomunikasi dengan bahasa Jawa dalam kesehariannya sehingga mungkin agak sedikit mengherankan jika seharusnya yang terbayang oleh kita ketika berkunjung ke Sumatra kita mendengar logat penduduk yang cenderung ke-Batak-kan, ke-Padang-an, ke-Melayu-an, dan seterusnya pada faktanya yang didengar oleh kita yaitu penduduk yang berkomunikasi dengan bahasa ibunya (baca: Jawa).

Ada beberapa pandangan yang dapat kita temui dalam masyarakat. Sepengetahuan penulis, hampir tiap suku memiliki kecenderungannya untuk melakukan migrasi (baca: merantau). Sebagai contoh, dalam lingkungan tempat tinggal penulis di Bogor, terdapat suatu kecenderungan yang lazim (walau tidak seluruhnya) bahwasanya orang Sunda  hampir jarang ditemui yang melakukan migrasi. Makanya, kadang kita sering mendengar istilah yang berkembang di masyarakat bahwa langkahnya orang Sunda pendek namun langkahnya orang Jawa panjang. Pada faktanya, penulis mendapati bahwa memang benar kita dapat dengan mudahnya menemui orang Jawa di hampir seluruh daerah di Indonesia.

Bisa jadi kecenderungan untuk melakukan perpindahan ini didapat secara turun-temurun dari orang tuanya dengan cara pewarisan nilai dalam keluarga inti. Hal ini bisa dimaklumi karena pengaruh didikan keluarga inti pada seorang anak amat sangat berpengaruh. Bisa jadi jka orang tuanya adalah perantau bisa dipastikan si anak kelak akan menjadi seorang perantau juga (bisa iya dan tidak).

Namun bisa juga kecenderungan untuk berpindah atau tidaknya seseorang juga datang dari motif si orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Faktor ini tak bisa dipungkiri dan merupakan bagian dari insting manusia untuk bertahan hidup. Kasarnya mungkin bisa kita ambil dari istilah “survival of the fittest”.

Kesimpulan dari tulisan ini mungkin tidak menjawab dari judul tulisan yang berada di bagian paling atas. Intinya adalah, berpindah tidaknya seseorang pasti terkait dengan kebutuhan individu tersebut melakukan perpindahan untuk MEMENUHI kebutuhannya.

#seirumbiya280711

Stasiun Riset

Bangunan tersebut tampak terpencil, terletak di samping reservoir yang airnya dipakai untuk mengaliri air untuk kebutuhan para penghuni Multihousing dan rumah staf. Satu ruangan paling hanya memiliki ukuran 4×4 meter, dengan 4 meja kantor beserta kursinya. Pada satu meja tampak jelas kulit kayunya mengelupas. Walaupun memakai pendingin ruangan, alat pendingin keluaran lawas pun masih difungsikan untuk mengusir hawa panas yang menyeruak datang di siang hari atau pun sore hari. Di ruangan sebelahnya, terdapat dua meja kantor yang ditempati oleh dua orang hebat yang mengurusi segala kerumitan data yang dimudahkan dengan sistem basisdata.

Di situlah awal penempaan yang terkesan aneh. Setiap hari dibebaskan seperti anak ayam kehilangan induk. Jika tidak sampai berpikir bahwa keberadaan saat ini sebagai petualang ilmu dan pengalaman, sudah pasti ruangan tersebut menjadi kamar mayat penyesalan seumur hidup. Tersedia beberapa buku penuntun terbitan New York, dengan kulit yang tampak usang namun berisi lembaran-lembaran ilmu untuk melihat tempat hidup manusia dari sisi yang berbeda berkat sentuhan yang bernama teknologi.

Hari demi hari berlalu, masih sedikit ilmu praktis yang didalami. Jika kebosanan menerpa, berkelilinglah menuju pusat peradaban setempat yang dapat ditempuh selama tujuh menit dengan menggunakan ‘kereta’ pinjaman. Jika kebetulan sedang ‘mencari angin’ di malam hari, maka melihat keramaian lapo menjadi hal yang lumrah. Bahkan di sudut-sudut kota yang suram, praktik haram pun ada, seperti yang terdapat di kota-kota besar.

Pagi itu terasa berbeda. Dalam satu hari penuh, bahkan lebih, akan menghabiskan waktu di dalam ruangan kecil berkapasitas 50 orang. Dan yang lebih penting, tidak ada lagi daily report dengan isi yang dikarang-karang.

Diawali dengan waktu berkopi (coffee time)selama satu jam, seonggok roti menjadi korban rongga mulut dilanjutkan dengan pelancaran kerongkongan dengan segelas kopi pahit. Pahitnya kopi menjadi pahit getirnya rasa untuk berkehidupan yang lebih layak di tanah yang sudah dijanjikan ini. Pertemuan riset tahunan itu pun dimulai. Pertemuan dihadiri oleh satu orang direktur riset di Riau, lima orang bergelar doktor dari negeri nun jauh, beberapa periset ulung dari stasiun riset setempat, serta para peserta lainnya termasuk saya.

Pertemuan riset dibuka oleh direktur riset setempat, dilanjutkan dengan penyajian presentasi oleh beberapa presenter dalam bidang agronomi serta perlindungan tanaman. Amat menarik presentasi berjalan, ditiap akhir presentasi akan dilanjutkan dengan tanya jawab selama beberapa menit. Sungguh menarik, dialog dan debat akademis terjadi selama hari itu. Pertanyaan yang diajukan bukanlah pertanyaan formalitas melainkan pertanyaan yang menuntut jawaban dengan nalar logika tanpa mengindahkan kaidah berpikir ilmiah. Yang amat menarik, karena diwajibkan menggunakan bahasa Inggris, maka nuansa yang tercipta amat terasa ilmiah. Penuh dengan ilmu dan kadang diselingi perdebatan, namun dengan cerdasnya sang direktur riset mampu menengahkan permasalahan dengan bijak.

Selanjutnya penyajian hasil riset atau kemajuan yang telah dicapai oleh riset disajikan seperti layaknya pelaporan pertanggung jawaban. Berondongan pertanyaan, komentar, atau masukan silih berganti ditujukan kepada penyaji. Semuanya berlangsung tertib, kadang diselingi oleh candaan yang dilontarkan oleh para jajaran ahli atau konsultan yang berkompeten di bidangnya.

#bahlias150611