SUDAH sekitar sebulan yang lalu saya tidak menulis satu pun artikel di blog. Selain sedang malas menuliskan ide, juga karena bertepatan dengan bulan puasa ke-28 yang menyambangi kehidupan saya di dunia fana ini. Mungkin ada korelasinya antara perut lapar saya selama puasa dengan minimnya ide dan tulisan untuk blog hehe.

Sebelum melanjutkan tulisan ini, perkenankan saya untuk mengucapkan selamat lebaran, mohon maaf jikalau selama ini ada tulisan yang kurang berkenan di hati para pembaca budiman – kayak banyak yang baca aja hehe.
Jadi, tepatnya Ahad lalu, dengan rencana dadakan seperti tahu buleud, adik saya tercinta mengajak untuk menyambangi salah satu objek wisata alam di sekitar puncak yaitu Curug Cibeureum yang berlokasi di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Tepat pukul enam pagi, kami berangkat menggunakan sepeda motor dengan tambahan personil seorang sepupu dari Purworejo.

Selama kurang lebih satu jam menembus jalanan raya Puncak, akhirnya kami sampai di simpang Cibodas. Kami bergegas sarapan bubur Cianjur sebelum memulai perjalanan yang akan menguras keringat.
Hawa pegunungan yang sejuk menyeruak semenjak kami menembus jalanan yang membelah kebun teh di Puncak. Suasana segar itu yang langka bisa dinikmati di perkotaan apalagi di kebun sawit Sumatera.
Setelah mencari area parkir yang cukup strategis, kami pun bergegas untuk menuju pos air terjun. Di sekitar perjalanan kami menuju pos, sudah banyak orang-orang yang hilir mudik bergegas menyelesaikan keperluannya. Ada yang setujuan dengan kami, ada juga yang ingin berkemah atau menikmati sejuknya suasana kebun raya Cibodas.
Berhubung kami hanya membawa sedikit perbekalan, eh ndilalah kok ada ibu yang menjual buras dan gorengannya. Tanpa pikir panjang, kami pun langsung membeli sebagai bahan camilan kami selama perjalanan.

Untuk menuju air terjun, pengunjung diharuskan untuk membayar karcis sejumlah Rp 18.500 per orang. Jalur yang ditempuh pun sudah sangat baik karena jalur berupa batuan sehingga jika hujan turun pun tidak akan membuat alas kaki menjadi belot.

Jalur pendakian menuju air terjun tumpang tindih sebagiannya dengan jalur pendakian menuju puncak Gede-Pangrango. Jadi jangan heran jika selama perjalanan akan sering berpapasan dengan para pendaki baik yang akan naik ataupun turun. Apakah jalur pendakian terbuka sehingga sinar matahari akan membuat kita legam? Tentu tidak. Pohon berkanopi lebar seperti Rasamala dan kawan-kawannya akan dengan senang hati menaungi para pengunjung.

Oh ya, tak lama kami memulai perjalanan dari pos, seekor owa jawa (java gibbon) menyambut kami dengan suara khasnya dari atas dahan pepohonan. Beberapa saat saya merasa deja vu dengan pertemuan orangutan di Bukitlawang. Momennya dan suasananya pas.
Jarak dari pos sampai ke lokasi air terjun tidak terlalu jauh yaitu sekitar 2,7 km. Sebagai penanda jarak dari pos hingga ke air terjun, terdapat patok per hektometer di pinggir jalan. Yang perlu diperhatikan adalah, level kemiringan jalur menuju air terjun yang bisa membuat napas ngos-ngosan. Apalagi yang jarang olahraga rutin hehe.

Untuk sampai lokasi air terjun, kira-kira memerlukan waktu satu jam dengan kecepatan konstan. Namun ya bergantung dengan kondisi pegunjung, ada yang sampai setelah berjalan 1,5 jam bahkan hingga 2 jam.


Tepat sebelum sampai lokasi, terdapat bentang alam berupa rawa yang cukup luas bernama rawa gayonggong. Khusus untuk di area ini, kita harus meniti jembatan lebar yang dasarnya dibuat menyerupai kayu namun berbahan semen. Karena rawa ini merupakan bagian dari ekosistem lahan basah, banyak yang bisa diamati di sini terutama burung-burungnya.

Sampai di lokasi, terdapat dua air terjun yang bisa dinikmati (ada tiga sih totalnya). yang pertama tentu saja Cibeureum yang lebih pendek dibandingkan curug Cidendeng di sebelahnya. Yang menyempil curug Cikundul, hanya saja saya tidak menyambanginya. Curug Cibeureum fotonya ada di bagian teratas ya. Untuk Cidendeng di bawah ini, pas ada pelanginya.
https://www.instagram.com/p/BWCJLrPjETo/
Kondisi saat itu sudah ramai pengunjung dan saya tidak terlalu menyukai kondisi seperti ini. Sehingga saya hanya menikmati camilan sambil duduk-duduk di atas batu. Semakin ramai suasana sudah pasti akan banyak yang sekedar mandi atau membasahi tubuhnya di air terjun. Mending jika bidadari yang bermain air, yang ada bidadari berkumis dan berbadan tegap yang mandi-mandi hehe.

Sayang seribu sayang, hampir di setiap objek wisata di Indonesia, kesadaran pengunjung untuk membuang sampah atau membawa kembali sampah, sangat rendah. Di beberapa spot saya temui sampah-sampah plastik dibuang ke sembarang tempat. Kebiasaan seperti ini kan seperti virus, akan menular dengan mudah ke orang-orang di sekitar objek wisata.
Setelah berpuas makan dan menikmati suasana air terjun, kami pun pulang. Waktu tempuhnya sudah pasti lebih cepat dibandingkan keberangkatan mengingat jalurnya menurun. Siap-siap saja sendi di lutut untuk mengerem di setiap turunan untuk menahan beban tubuh.
Jika ingin membawa oleh-oleh, tidak jauh dari parkiran para penduduk setempat banyak yang membuka lapak dagangan seperti kaus oblong, kerajinan setempat, makanan ringan tradisional dan yang paling menarik perhatian saya yaitu yang menjual tanaman hias seperti foto di bawah.


naik lg sedikit pemandian air panas mas 😀
Iya, ngga sempet kalo sekalian ke sana, jadi buat taun depan aja kalo ke sini lagi hehe
Pas terakhir kesana saya lagi musim hujan. Suasananya lebih mistis soalnya banyak kabut, dan anginnya sesekali kencang, juga di hutannya jadi lebih gelap.
Tapi ya kurang asiknya di situ, rame banget di curugnya. Jadi gak bisa terlalu menikmati, selain memang banyak orang yang buang sampah sembarangan.
Haha iya bener banget tuh, rame orang. Masalah sampah memang bikin kecewa sih, banyak yg ngga peduli juga soalnya. Pas sy kesana malah nemuin juga sampah sekresi manusia segala haha