https://www.instagram.com/p/BJClfRZhSXq/
Prolog
GUNUNG Pusuk Buhit terletak di Kabupaten Toba Samosir. Gunung ini memiliki ketinggian 1.982 meter di atas permukaan laut. Bagi suku Batak, gunung ini merupakan gunung yang sangat disucikan karena menurut kepercayaan, leluhur pertama suku Batak, yakni Siraja Batak, dilahirkan dan menjadi leluhur suku Batak hingga saat ini.
Lokasi terbaik untuk melihat kenampakan Gunung Pusuk Buhit yaitu melalui menara pandang Tele. Dari sini dengan sangat jelas kita bisa melihat Gunung Pusuk Buhit mulai dari lembahnya, lerengnya hingga ke puncaknya. Desa Sianjur Mulamula, yang biasanya menjadi titik pertama pendakian, juga dapat dilihat dengan jelas melalui menara pandang Tele.
Perjalanan panjang
Malam sebelum keberangkatan ke Pusuk Buhit, saya dan seorang kawan menyelesaikan urusan peminjaman tenda ke salah satu outlet toko perlengkapan pendakian. Selesai urusan, hujan pun turun dengan derasnya yang memaksa kami untuk sesaat berteduh hingga mulai reda.
Keesokan paginya, yang direncanakan untuk berangkat jam enam pagi pun urung dilakukan. Nikmat Tuhan berupa hujan masih turun yang memaksa kami untuk menembusnya dengan menggunakan jas hujan untuk menuju SPBU Simpang Pos guna bertemu dengan satu kawan untuk memulai perjalanan panjang selama satu hari ke depan.
Akhirnya dua motor pun beriringan menembus gerimis hujan menuju ke Selatan membelah jalan Jamin Ginting hingga perhentian pertama di Pancur Batu untuk menyempatkan diri menyantap sarapan. Setelahnya tanpa pikir panjang, langsung tancap gas menuju perhentian pertama di menara pandang Tele.
Perjalanan setelah melewati Simpang Merek ternyata cukup menantang. Apalagi ketika jalanan melewati area terbuka di kanan kiri jalan raya. Angin bertiup kencang dengan bebasnya membuat pengendara motor seperti kami cukup merasa ngeri-ngeri sedap selama mengendarai motor. Diperlukan konsentrasi serta pegangan tangan yang kuat agar motor tidak oleng.
Toba, kepingan Surgawi

Jika Brouwer berkata bumi Pasundan lahir ketika Tuhan tersenyum, maka saya akan berkata Tuhan berbahagia ketika Toba diciptakan
Ungkapan dari filsuf kenamaan dari negeri Belanda, Brouwer, akan keindahan bumi Pasundan terlintas di pikiran saya ketika perjalanan dengan si kuda besi mendekati jalanan Danau Toba. Kedua tempat (Pasundan dan Toba) tersebut pun sama-sama tercipta dari letusan maha dahsyat gunung purba (Gunung Sunda dan Gunung Toba) yang menghasilkan kaldera raksasa.
Bedanya, jika di Toba dengan jelas kita bisa melihat bekas letusannya berupa kaldera danau raksasa, maka lain hal dengan di Pasundan. Kaldera bekas letusan Gunung Sunda bagi orang umumnya akan lebih mudah dilihat melalui peta model elevasi digital. Sebagai informasi, lokasi Bandung saat ini terletak di cekungan yang merupakan bagian dari kaldera letusan Gunung Sunda di masa lampau. Bahkan cekungan Bandung di masa lampau berupa danau, kurang lebih kondisinya sama seperti Danau Toba saat ini.



Kembali ke perjalanan, akhirnya kami berhenti di menara pandang Tele. Untuk apa? Tentu saja untuk berfoto-foto :). Dari menara pandang Tele ini kita bisa melihat lanskap Toba yang sangat-sangat indah dengan perbukitan yang mengelilingi danau ini yang memang sangat ikonik. Bukit yang merupakan tufa vulkanik tersebut seolah menjaga air danau agar tidak meluber keluar dari cekungan tersebut.

Nampak dari kejauhan dilihat dari Tele, Gunung Pusuk Buhit berdiri dengan tegaknya seolah memberitahu bahwa ialah satu-satunya gunung yang patut menjadi pusat perhatian. Nah dan gunung itulah yang akan kami sambangi Sabtu lalu untuk ‘ditaklukan’ dengan cara menjejak kedua kaki ini sampai di puncaknya.
Pendakian
Tepat pukul empat sore kami memutuskan memulai pendakian dari gedung (yang sudah tak terpakai) Toba Geopark setelah sebelumnya menitipkan sepeda motor kami di salah satu rumah penduduk. Rombongan kami terdiri dari tiga orang dan selama perjalanan ke puncak, kami bertemu beberapa pendaki juga dari Medan. Salah satu rombongan yang terdiri dari lima orang bahkan bersama dengan kami saat summit attack dan turun gunungnya.
Lenguhan nafas terdengar lebih keras, beriringan dengan derap irama langkah gontai yang dihiasi peluh bercucuran
Jalur pendakian menuju puncak Pusuk Buhit bisa dibilang sudah ‘bersih’. Bahkan jika menggunakan motor trail, kita bisa melalui dan mencapai hingga mendekati puncaknya. Jalurnya berupa jalan yang dilapisi dengan batuan. Di kanan-kiri jalur pada beberapa titik bisa kita temui perkebunan kopi yang dikelola oleh masyarakat setempat.
Ternyata jalur menuju puncak memang tidak mudah. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemuinya jalur ‘bonus’ alias jalur datar. Seluruh jalur berupa tanjakan tanpa henti yang memang sangat menguras dan menguji fisik dan mental pendaki. Untuk menghemat waktu bahkan kami memotong jalan walau memiliki jalur tersebut memiliki kemiringan yang ekstrim sekitar 50 derajat.
Walaupun terasa lelah, angin bertiup kencang ketika itu. Sehingga saat berhembus, sejenak lelah kita bisa ikut menguap terbawa angin gunung. Selain angin, untuk sekedar melepas lelah yang menumpuk di ubun-ubun cukup tolehkan kepala ke sisi berlawanan lereng gunung. Niscaya pemandangan yang terlihat akan membuat para pendaki tercengang karena saking indahnya akan lanskap yang terlihat.





Tak terasa sudah hampir empat jam kami mendaki dan belum juga sampai di puncak. Gelayut malam sudah menyelimuti perjalanan kami ditambah hembusan kencang angin gunung yang dingin. Satu rombongan yang berbarengan ikut dengan kami memutuskan untuk mendirikan tenda mengingat kondisi timnya yang sudah kepayahan. Disamping itu pertimbangan untuk membuat tenda pada tempat yang lebih tinggi diprediksi akan mengalami hambatan akibat hembusan angin gunung yang kencang bertiup malam itu.
Akhirnya kami pun memutuskan untuk berhenti dan membuat tenda pada tempat yang cukup datar dan pada satu sisinya terbuka untuk meminimalisasi dari hembusan angin gunung yang mengerikan. Satu harapan kami juga yaitu semoga hujan tidak turun pada malam itu yang bisa jadi akan malah memperburuk keadaan.
Setelah mendirikan tenda dan mengatur barang di dalam tenda, acara selanjutnya bagi kami yaitu makan malam. Menu pada malam itu tentu saja bukan mie rebus hehe melainkan nasi putih panas dengan lauk ikan sarden bumbu spesial racikan kami. Intinya, semua berlangsung lancar hingga tragedi mengejutkan yang tak kami perkirakan sebelumnya akan terjadi.

Tragedi tengah malam
Selesai masak dan makan-makan besar, tepat pukul 11 malam kami pun memutuskan tidur. Biasanya jika kita bermalam di luar ruangan pasti ada yang berjaga. Entah kenapa pada malam itu kita berpikiran akan baik-baik saja tanpa perlu bergantian jaga pada malam itu. Di luar tenda sesekali masih terdengar langkah para pendaki yang baru tiba dan seringnya mereka mengucap salam ketika melewati tenda kami. Saat masih terjaga tentunya kami menjawab salam dari dalam tenda.
Terkadang suasana menjadi tenang. Hembusan angin pun tak ada. Namun tak lama kemudian angin bisa tiba-tiba berhembus sangat kencang. Saat angin bergesekan dengan tenda, terdengar menyeramkan. Bahkan saya membayangkan jika pasak yang kami buat tidak kuat dan akhirnya menerbangkan tenda. Khayalan semakin malam ternyata semakin mengada-ada.
Pukul 2 pagi saya terbangun karena salah seorang kawan panik. Dia merasa pasak salah satu flysheet kami terlepas dan selanjutnya cukup mengagetkan kami semua. Ternyata satu ponsel kawan saya berikut power bank (milik saya) raib! Sontak kami semua kaget dan langsung ke luar tenda. Benar saja satu penyangga flysheet tenda terlepas dan ada bagian tenda yang terkoyak! Deg! Benarlah sudah, kami baru saja kecolongan oleh para bromocorah Gunung Pusuk Buhit.

Pendakian (lagi) menuju puncak
Pagi harinya, setelah melewati malam yang penuh dengan kejutan, kami awali dengan mengambil beberapa foto di sekitar tempat kami mendirikan tenda. Tak jauh dari kami, tenda dari rombongan Siantar sudah berdiri. Terlihat dari kejauhan beberapa pendaki (terutama wanita) berulang kali mengambil foto selfie atau wefie.


Kami bergegas menggulung tenda dan mengemasi barang-barang kami. Kami tidak mau ambil reisiko untuk meninggalkan barang saat summit attack. Biar saja kami memanggul barang dengan berat ke puncak daripada harus kehilangan barang yang lain lagi.
Pendakian ke puncak kami lakukan bersama dengan rombongan sebelumnya saat kami mulai mendaki dari bawah. Pendakian berlangsung lancar. Yang menjadi tantangan tentu saja medan yang kami lalui untuk menuju puncak.



Dalam jalur pendakian menuju puncak, beberapa kali saya menemui sebuah batu besar yang nampaknya digunakan untuk sarana penyembahan. Karena sedari awal saya sudah mengetahui mengenai gunung ini, tentunya menjadi hal yang lumrah jika kita menemui hal-hal yang seperti itu.


Bahkan saya sempat mengalami pengalaman aneh ketika berada di dekat Batu Sion. Saya berniat untuk memoto salah satu sesajian yang terdapat di situ dengan cara menzoomnya. Namun apa daya selalu tidak berhasil. Beberapa kali kamera saya cabut dayanya, kemudian pasang kembali. Hasilnya nihil. Kamera saya tidak dapat menzoomnya. Selepas melalui batu tersebut ketika di atas bukit saya masih penasaran apakah kamera saya masih rusak. Dan ternyata anehnya kamera bisa menzoom dengan sempurna.
Puncak 1.982 meter di atas permukaan laut

Singkat cerita, setelah kurang lebih berjalan selama satu jam akhirnya kami tiba di puncak Gunung Pusuk Buhit. Alhamdulillah. Sampai di puncak seolah lelah dan penderitaan kami terbayar dengan pemandangan yang tersaji di depan mata kami. Biarkan gambar yang bercerita.

Adapun tepat di puncak Pusuk Buhit terdapat juga sebuah altar yang digunakan untuk beribadah. Terlihat juga dedaunan sirih, air serta rokok yang mungkin dipakai sebagai sesajen untuk para leluhur. Bendera khas Parmalim (mohon dikoreksi) pun berkibar dengan gagahnya di puncak Pusuk Buhit. Oh ya, khusus untuk di puncak ini, pendaki dilarang untuk mendirikan tenda.




Turun gunung, kembali ke peradaban
Menuruni gunung pasti akan lebih cepat dibandingkan mendaki. Tentu saja karena energi yang diperlukan ketika turun cenderung lebih sedikit dibandingkan aktivitas sebaliknya. Namun karena kesiangan, sinar matahari pun akhirnya menemani kami menuruni gunung. Untuk menghemat waktu pun akhirnya kami menerobos (shortcut) lereng yang bervegetasi semak ataupun kebun kopi.
Tak terasa rombongan pun sampai di Desa Sianjur Mula-mula dan setelah mengisi perut sekedarnya, kami langsung tancap gas menuju Pangururan untuk mengisi bahan bakar, baik premium maupun bahan bakar untuk para manusia berupa karbohidrat dan kawan-kawannya. Perjalanan dari Pangururan hingga Medan kami tempuh selama lima jam saja! Sampai rumah-masing, tak ada yang bisa dilakukan kecuali tidur hehe.
Sekian.
Kalo maen ke gunung, capeknya di perjalanan tpi pas nyampe puncak, wiih senangnyaa yaa mas
Iya betul mba… bersusah dahulu tapi puas kemudian kalo dah liat view dari puncaknya
apakah ada team untuk bulang 12 ini ke pusuk buhit, bagaimana kita mendaftarya bro