Toba
Toba

Prolog

Remah surgawi bernama Toba – Lebih dari 70.000 tahun yang lalu, jauh sebelum zaman es mencair, gunung purba Toba meletus dengan kekuatan yang maha dahsyat. Dampaknya dirasakan oleh hampir seluruh penduduk bumi karena kelam debu vulkaniknya menyelimuti di hampir sebagian besar atmosfer bumi. Akibatnya suhu bumi menurun dan cahaya matahari pun terhalang menuju bumi.

Muntahan purba Gunung Toba yang dahsyat menghancurkan sebagian kerucut gunung dan mengakibatkan terbentuknya kaldera yang sangat besar. Dengan ukuran kaldera yang sedemikian luasnya, dapat dibayangkan seberapa banyaknya material yang dimuntahkan ketika itu. Saat ini kita bisa menikmatinya dalam bentuk danau luas yang keindahannya sangat memanjakan mata dan tak ada habis-habisnya untuk dinikmati.

Empat orang perantau ‘bhinneka tunggal ika’ (Jawa, Sunda, Mandailing dan Makassar) akhirnya memutuskan untuk mencecap Toba melalui rute yang sudah disepakati sebelumnya di warkop bilangan Padang Bulan pada malam sebelumnya. Kebetulan, seluruh perantau memang belum pernah melalui jalur tersebut menggunakan sepeda motor sehingga akan menjadi sensasi tersendiri bagi tiap orangnya.

Toba Tour

Perjalanan dari Medan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar hingga Parapat sepanjang 180 km dilalui tanpa adanya suatu halangan apapun. Lalu lintas sepanjang perjalanan lancar jaya, apalagi jalur dari Tebing Tinggi sampai Siantar yang membuat tangan tak kuasa untuk menarik tuas gas sampai habis. Surely, jalur ini membuat ketagihan untuk lain kali melaluinya menggunakan sepeda motor kembali.

Sebelum mencapai parapat, beberapa kali kami beristirahat untuk sekedar sarapan atau meluruskan kaki sembari mengurangi penat berkendara. Salah satu spot yang cukup representatif yaitu di Balit Kehutanan Aek Nauli di mana empat tahun yang lalu juga, saya bersama rekan sejawat dari kantor beristirahat kala berpesintas dari Perdagangan menuju Parapat.

Lokasi rehat
Perantau dari Jawa ber-wefie
4 years ago with GIS Team
4 years ago with GIS Team

Sebelum memasuki Parapat, lanskap Danau Toba pun mulai tersibak. Momen ini bagi orang yang baru pertama kali ke Toba pasti tak urung membuat tangan gatal untuk mengambil gambar berikut orangnya. Persis sama seperti kunjungan saya empat tahun yang lalu, kami berhenti pada tepi bukit yang sama kemudian kamera pun bertindak.

Danau Toba masih tampak sama ketika terakhir kali saya bertatap muka dengannya empat tahun lalu. Udaranya masih terasa sejuk, walau tidak sesejuk empat tahun yang lalu rasanya. Bukit-bukit di sekitar danau yang berbahan utama tuf vulkanik masih tampak gagah dan setia menjaga air danau agar tidak meluber kemana-mana.

Mengabadikan
Mengabadikan lanskap Toba sesaat sebelum memasuki Parapat

Rencana untuk menyeberang menuju Samosir menggunakan ferry akhirnya tidak kesampaian karena begitu tiba di Pelabuhan Ajibata, ferry sudah kadung berangkat menuju Tomok. Mau tidak mau akhirnya kami mencari kapal penyeberangan yang dikelola swasta. Biaya penyeberangan sepeda motor untuk sekali menyeberang yaitu Rp. 10.000,- dan per orang Rp. 8.000,-. Selama kurang lebih 45 menit lamanya kami melayari Danau Toba sebelum akhirnya kapal berlabuh di Pelabuhan Tomok.

Jreng jreng… Akhirnya kaki kembali menapaki Pulau Samosir. Tanpa membuang napas panjang, kami langsung memarkirkan sepeda motor dan manuju situs bersejarah yang ada di Tomok. Berhubung di rombongan, hanya saya saja yang pernah berkunjung ke sini, jadi sekalian menjadi penunjuk jalan buat ‘turis-turis’ dari Pulau Jawa ini.

Situs Bersejarah di Tomok

Museum adat Batak (dok. Hisyam)
Museum adat Batak (dok. Hisyam)

Kunjungan pertama di situs bersejarah Tomok di awali dengan mengunjungi Museum Batak. Museum ini berbentuk rumah adat Batak yang jika dilihat sekilas agak mirip-mirip dengan rumah adat Toraja. Walaupun berbentuk rumah adat, kondisinya sudah dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat lebih modern dan rapih. Karena berbentuk rumah panggung, maka di bagian bawahnya terdapat ruang yang pinggirannya disekat oleh pagar kayu. Biasanya digunakan untuk tempat memelihara ternak seperti babi berwarna merah muda yang lucu-lucu atau ayam.

Di dalam museum kita bisa melihat berbagai macam pernik khas Batak seperti kain tenun, senjata pedang, maupun kostum adat. Ada juga patung yang menjadi ‘maskot’ di Tomok yaitu Sigale-gale. Berbagai hasil kerajinan ukiran kayu berbentuk manusia pun bisa dilihat bahkan dibeli oleh pengunjung.

Museum Batak
Patung Sigale-Gale

Setelah menyudahi kunjungan kilat ke Museum Batak, kunjungan berlanjut ke makam Raja Batak Sidabutar yang berlokasi tak jauh dari museum. Untuk memasuki area ini kita diharuskan menggunakan ulos sesuai dengan instruksi penjaga situs. Nah, di lokasi ini kita dapat melihat makam-makam raja Batak baik yang berupa sarkofagus (makam batu) ataupun non sarkofagus. Pada beberapa makam tampak diselimuti oleh lembaran kain tiga warna yang menandakan sampai akhir hidupnya raja tersebut masih menganut kepercayaan lokal seperti Parmalim. Untuk yang sudah menganut Kristen, pada makam akan terdapat lambang salib.

makam raja-raja Batak
Penjaga situs dan sarkofagus

Kunjungan berikut selepas situs makam raja batak berlanjut ke kompleks rumah adat batak beserta ‘wayang’ Sigale-gale. Pada situs ini kita bisa melihat empat rumah (seingat saya) adat yang sampai saat ini masih ditempati dan ditinggali oleh keluarga Batak. Tak beda jauh dengan kebanyakan rumah adat pada berbagai suku di Indonesia, rumah adat ini biasanya ditempati oleh lebih dari satu keluarga inti. Tepat di depan salah satu rumah adat tersebut terdapat patung Sigale-gale yang bisa kita tanggap dengan membayar Rp. 80.000,- untuk sekali pertunjukan.

Rumah adata Batak dan patung Sigale-gale
Rumah adat Batak dan patung Sigale-gale (dok. Hisyam)

Lintas Samosir

Menyudahi kunjungan kilat pada situs bersejarah di Tomok, kami langsung tancap gas untuk menuju Pangururan. Jika hari belum gelap kami berencana untuk menginap di Silalahi. Opsi kedua yaitu menginap di Sidikalang. Yang jelas waktu ketika tiba di Pangururan akan menentukan nasib kami malam ini haha.

Keinginan untuk tancap gas di Samosir non stop dari Tomok pun urung dilakukan. Hal ini dikarenakan lanskap Samosir yang sayang dilewatkan untuk diabadikan. Pemandangan hamparan hijaunya persawahan dan angkuhnya perbukitan di baliknya sungguh perpaduan lukisan alam yang bisa memanjakan mata siapa pun yang melihatnya.

Hamparan sawah
Hamparan sawah

Kondisi jalanan yang ada di Samosir cukup baik. Buktinya kami bisa melalui jalan tersebut dengan kecepatan rata-rata 70 sampai 80 km/jam. Namun tetap harus berhati-hati karena walaupun sepi, permukiman penduduk berada di sisi kanan dan kiri jalan yang tentunya akan banyak penduduk yang berjalan atau menyeberang jalan. Beberapa kali bahkan terlihat ternak penduduk seperti sapi dan babi yang lucu pun ikut menyeberang jalan.

Dikarenakan Samosir bukan menjadi tujuan kami untuk bermalam, sebenarnya sangat disayangkan karena banyak spot-spot yang nampaknya berharga untuk dikunjungi. hal ini terlihat dari papan penunjuk objek wisata yang ada di kanan atau kiri jalan. Beberpa objek wisata juga sepertinya berupa peninggalan megalitikum yang saya perkirakan dari nama objek wisata pada papan petunjuk di pinggir jalan.

Tak kurang dari 50 kilometer jarak yang kami tempuh dari Tomok untuk tiba di Pangururan. Sejenak beristirahat sambil memenuhi tangki bahan bakar sepeda motor, kami akhirnya memutuskan untuk bermalam di Sidikalang karena hari sudah terlampau petang untuk menuju Silalahi yang kondisi jalannya pun masih belum kami ketahui dengan pasti.

Pangururan – Sidikalang

Pemandangan selepas Pangururan menuju Sidikalang
Pemandangan selepas keluar dari Kota Pangururan menuju Sidikalang

Dulu saya penasaran. Antara Samosir dan Sumatera jika kita melintas dari Pangururan terdapat sejuntai daratan yang menghubungkan antara keduanya yang belakangan saya ketahui hanya berupa sebuah jembatan yang tidak terlalu besar ukurannya. Dan kali ini saya mencetak sejarah karena melintasi ‘daratan’ penghubung tersebut.

Lepas dari Kota Pangururan menuju Sidikalang jalannya mulai menanjak dengan gradien kemiringan cukup curam ditambah berkelok-kelok. Di kanan dan kiri jalan mayoritas didominasi oleh tebing batuan tuf vulkanik yang sejujurnya membuat saya merasa ngeri-ngeri sedap karena khawatir jika suatu saat terjadi longsor batuan.

Kondisi jalan (1)
Kondisi jalan (1)
Kondisi jalan (2)
Kondisi jalan (2)

Tepat pukul enam sore, kami akhirnya mencapai Menara Tele setelah menempuh ratusan kelokan sambil menanjak. Mendung menggelayut di atas kami ketika itu, kabut pun mulai turun. Suasana semakin mistis. Saking mistisnya, kami buru-buru mencapai bagian atas menara dan kemudian mengambil beberapa gambar untuk diabadikan. Sayang sekali karena kondisi cuaca yang kurang baik, gambar yang dihasilkan kurang apik.

Hanya ini gambar yang saya ambil dari Menara Tele
Hanya ini gambar yang saya ambil dari Menara Tele

Dari Menara Tele kami pun melanjutkan perjalanan untuk menuju Sidikalang. Kami sempat sekali berhenti karena melihat pemandangan yang sangat apik untuk diabadikan (lihat gambar paling atas). Pada spot ini (tidak tahu namanya), akhirnya memutuskan rehat karena ternyata teman-teman saya pun berselfie ria berkali-kali. Seorang teman yang baru pertama kali mencoba selfie pun sampai kebingungan bagaimana cara pakai kamera depan pada ponselnya.

Kondisi jalan menuju Sidikalang sangat bagus sampai kira-kira Sigalingging (cuma perkiraan). Jalanan berupa aspal hotmix dan kondisi jalanan sepi karena sudah menjelang maghrib. Yang menjadi spesial, suhu udara menurun karena menjelang malam dan angin yang menerpa tubuh ini terasa anyes sampai ubun-ubun. Kedua pergelangan tangan saya yang tidak pakai sarung tangan pun terasa seakan akan membeku diterpa angin dan rerintikan hujan.

Akhirnya setelah menempuh lebih dari 70 kilometer jalanan penuh kelokan dan rintangan, tepat pukul delapan sampai di Sidikalang dan langsung menuju hotel untuk beristirahat. Hotel ini kami dapatkan rekomendasi dari rekan sejawat kantor yang sebelumnya memang pernah menginap di sini. Punggung pegal, pantat tepos, kaki kaku menjadi bagian cerita selama perjalanan hari pertama raun-raun keliling Toba ini. Oh ya, berhubung saat perjalanan ini hampir bertepatan dengan ulang tahun pertama BlogM, saya menyempatkan berfoto ala-ala kekinian sambil memegang kertas bertuliskan doa untuk BlogM. Jarang-jarang mempost foto seperti ini sebenarnya. 🙂

Selamat ulang tahun BlogM
Selamat ulang tahun BlogM

 

8 responses to “Remah surgawi bernama Toba – Part 1”

  1. IYAH avatar

    Baca dari atas nyeseknya karena baru nginjakin kaki sampe aek nauli. eh pas liat foto paling bawah ada ucapan buat blogm, keren XD

    1. anggik avatar

      Haha iya Iyah, karena gabisa ikut potong tumpeng dimedan jadi bikin kayak gitu deh

  2. nyonyasepatu avatar

    Ahahha Toba, kangennya

    1. anggik avatar

      Asal jangan sering2 ke toba nya ya mbak, biar kangennya awet haha

      1. nyonyasepatu avatar

        DUlu kita lumayan sering. dalam setahun bisa 2-3 kali hehe, sekarang nih yg jarang.

  3. catatanhisyam avatar

    asik…. kapan kita jalan-jalan lagi Jon… hahaha…. ditunggu part 2 nya nih..

    1. anggik avatar

      Bosen jalan2 mulu lur haha

  4. Remah surgawi bernama Toba – Part 2 | Bumi Manusia avatar

    […] di penginapan, kami langsung tancap gas menuju titik pemberhentian selanjutnya, Merek. Ya, lanjutan hari pertama akan dimulai. Berhubung masih pagi, jalanan masih sepi namun harus tetap berhati-hati karena […]

Leave a reply to IYAH Cancel reply

I’m Anggi

Welcome to my virtual space. I am not often post on my blog but I read a lot blogs about travelling, photography and GIS.

Let’s connect