Beberapa hari terakhir, Kota Medan selalu diguyur hujan. Ditambah dengan hari libur yang berselang-seling, paduan membaca roman dan beristirahat di dalam kamar adalah komposisi paling pas untuk membunuh waktu. Bahkan untuk sekedar keluar mencari makan adalah hal yang paling tidak diinginkan walaupun perut lapar mencekik lambung.
Keesokan harinya, mentari memamerkan nafas hangatnya. Waktu yang sangat disayangkan untuk dihabiskan di dalam kamar. Tanpa pikir panjang saya langsung menghubungi kawan untuk keluar kota mencari udara segar. Sayangnya yang bersangkutan tidak bisa. Berhubung niat sudah terpatri dengan kokohnya, maka saya memutuskan untuk ber-solo trip.
Awal perjalanan sudah dihiasi cerita salah naik angkot menuju Simpang Pos. Terus terang, selama tinggal di kota ini saya lebih banyak menghabiskan perjalanan dalam kota menggunakan motor. Sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan saya mengingat trayek angkot yang ada di Medan. Setelah bergelut dengan ingatan (dan tanpa bertanya barang seorang pun) akhirnya tiba lah akhirnya saya di Simpang Pos. Simpang Pos adalah salah satu lokasi yang padat dengan aktivitas perpindahan manusia (maksudnya transportasi) dari atau menuju luar kota.
Sekonyong-konyong nampak deretan mobil Elf Sumatera Transport berjejer menunggu penumpang. Tanpa pikir panjang saya turun dari angkot dan menaiki Sutra terdepan. Walhasil saya duduk di bagian paling belakang. Terlebih dahulu saya memastikan kembali untuk mengingatkan lae kondektur untuk menurunkan saya nantinya di Simpang Tongkoh. Pada awalnya tujuan saya bukan di Simpang Tongkoh, namun setelah berpikir ulang dan mempertimbangkan masak-masak maka tujuan saya pada awalnya saya tunda di kemudian hari.

Selama perjalanan kami disuguhi berbagai macam tembang karo dan dangdut. Mulai dari lirik yang tak saya mengerti hingga yang saya mengerti. Saking ngertinya dalam hati saya berbahak. Liriknya seputar minum tuak yang bisa mengusir segala kebosanan. Sesekali saya pun disuguhi percakapan karo antara penumpang di sebelah dan depan saya. Sesekali curiga, jangan-jangan mereka sedang ngomongin saya. Persentuhan saya dengan masyarakat di sini membuat saya berpikir bahwa di hari tersebut saya sedang berdamai dengan diri sendiri. Tidak peduli dengan ketidak mengertian saya, saya nikmati sepenuh hati. Rasanya sudah lama saya tidak melakukan solo trip sejak masa mahasiswa. Jelas rasanya berbeda dan kelak saya akan melakukan hal sama untuk waktu ke depannya.
Hampir selama perjalanan, di kiri kanan disajikan pemandangan yang biasa saja. Namun kontur jalan yang curam sesekali membuat saya awas selama perjalanan. Tak terasa hampir dua jam saya berada di dalam Sutra. Saya turun di Simpang Tongkoh. Tempat ini dapat dikenali dari landmark tugu jeruk persis di pinggir jalan. Ongkos naik Sutra cukup murah. Hanya sepuluh ribu rupiah untuk menikmati kelokan jalan selama perjalanan dan keberingasan berkendara supirnya.
Karena sedikit ragu, saya bertanya kepada bocah penjaga warung (di sini lebih dikenal dengan nama kedai/kedae) mengenai arah jalan menuju Taman Lumbini. “Lurus saja ikuti jalan, terus belok kanan.” Jawabnya. Saya melanjutkan dengan berjalan kaki. Hari sebelumnya saya sudah meriset lokasi-lokasi yang akan saya kunjungi. Sehingga saya percaya diri untuk berjalan kaki. Memang jaraknya tidak terlalu jauh dari jalan lintas. Dengan berjalan santai, dapat ditempuh dengan waktu dua puluh menit saja. Taksiran saya jaraknya satu kilometer lebih.

Tak berapa lama akhirnya saya sampai di lokasi. Sempat terkagum karena di hadapan saya berdiri dengan megahnya pagoda untuk peribadatan umat Budha. Yang bikin saya heran adalah karena lokasi yang berada di dataran tinggi dengan mayoritas penduduk batak karo yang notabene beragama Kristen atau Islam. Mungkin saja memang sengaja dibangun di tempat yang sejuk dan jauh dari keramaian.
Pengunjung yang ingin melihat langsung pagoda ini bisa berkunjung setiap hari mulai pukul 09.00 – 17.00 dan tanpa dipungut biaya. Kita hanya diharuskan mengisi buku tamu dan dipastikan tidak membawa makanan, minuman, dan rokok ke dalam kawasan pagoda. Di bagian depan pagoda, terdapat lapangan yang cukup luas dan di sini kebanyakan pengunjung mengabadikan potret mereka dalam fotografi. Di bagian lantai terlihat debu vulkanik yang tersamar tipis-tipis sebagai tanda bahwa pada pagi atau malam hari sebelumnya angin membawa debu vulkanik Sinabung sampai ke lokasi ini.
Saya tidak menyangka jika area Taman Lumbini ini cukup luas. Jika kita berjalan ke bagian belakang taman maka kita akan menjumpai jembatan yang menghubungkan antara dua bukit dan di dasar jembatan terdapat taman-taman lengkap dengan air mancur. Sungguh asri. Suasana pegunungan yang sejuk dan tenangnya lingkungan pagoda adalah kondisi yang sesuai untuk melepas kepenatan. Bangunan utama tentu saja yang menjadi pusat perhatian pengunjung. Dengan warna emas berkilauan dan beberapa menara di sekelilingnya lengkap dengan detil ornamennya memang benar-benar membuat kita sedang merasa di Burma atau Thailand (walaupun saya belum pernah ke dua negara tersebut).
Nah, bagaimana dengan ruang dalam pagoda? Sejujurnya pada awalnya saya sangat penasaran untuk masuk ke dalam. Hanya saja, pegawai kebersihan setempat hanya mengizinkan untuk masuk ke dalam pagoda untuk yang ingin bersembahyang saja. Sekilas saya melihat bule-bula yang langsung memasuki ruang dalam, saya sempat protes kepada si pegawai. Dia hanya beralasan sudah diperingatkan namun para bule itu tidak menurut. Saya sempat protes. Namun tidak mau memperpanjang masalah dan menghindari si pegawai tersebut. Saya harus menghormati aturan yang ada (walaupun lisan) dan tidak rugi juga sebenarnya jika tidak sempat masuk ke dalam.
Bagi yang senang dengan hal yang berkaitan dengan strawberry, jangan lewatkan kesempatan untuk membeli buah tersebut dengan langsung memetik dari pohonnya. Di sepanjang jalan menuju pagoda tersaji hamparan kebun strawberry yang bisa kita petik atau membeli bibitnya. Dari kejauhan, saya melihat satu keluarga yang sedang memetik buah strawberry bersama anak-anaknya.
Kita harus sadar, bahwa setiap tempat adalah unik dan menarik. Ternyata, tanpa perlu berjalan-jalan jauh ke luar negeri, di Indonesia, negeri yang kita cintai ini banyak tersebar objek-objek yang tak kalah menarik dengan negara tetangga. Ya, kita hanya butuh memulai perjalanan dan bereksplorasi sebanyak-banyaknya.